Dulu saya sering heran kalo liat SPBU macem Shell, Petronas dan SPBU
asing lainnya yang berjajar di pinggir jalan, mereka berdagang tapi
nggak ada yang beli, apa mereka untung? Tapi kenapa mereka membangun
gedung yang megah walaupun pelangganya nyaris dikatakan kosong
melompong, tak ada mobil yang mau belok ke SPBU asing yang cuman jualan
Pertamax. Kini saya baru mengerti ternyata itu diskon atas investasi
yang mereka lakukan, lalu bagaimana mereka bisa yakin berbisnis di
Indonesia, ternyata mereka memang udah tau arah perkembangan ekonomi
politik kita sekarang, regulasi minyak kita mengarah pada Pasar Bebas,
Pemerintah lebih suka menjual premium ke pasar spekulasi NYMEX,
ketimbang nyalurin ke rakyatnya sendiri. Jadi saya paham bagaimana
kemudian 40 perusahaan asing memegang beslit lisensi 20.000 hak
pembangunan SPBU, ini artinya nanti bakal ada 800.000 SPBU asing bermain
di pasaran distribusi ritel.
Rupanya kita harus belajar ‘Ilmu Sinyalemen, Ilmu Pertanda’. Adanya
SPBU asing, regulasi yang dipermainkan dan trik-trik politik dagang
yang dikenalkan ke ruang publik adalah bagian besar penggiringan ekonomi
Indonesia ke dalam pasar bebas yang mendikte ruang ekonomi rakyat.
Untuk memahami ini dan memeriksa kenapa bangsa kita jadi budak asing dan
bego begini tak mengerti bagaimana membangun pasar sendiri, kita juga
harus mengerti sejarah, dulu di tahun 1960 Bung Karno mengundang Chaerul
Saleh, Achmadi, Djuanda Kartawidjaja, Ibnu Soetowo dan Jenderal
Nasution ke Istana Negara pada suatu pagi, mereka ngobrol tentang
politik minyak bumi nasional. “Aku ingin Permina menjadi Perusahaan
minyak raksasa, perusahaan yang mampu berdikari, mampu menopang
perekonomian Indonesia, Permina bisa digunakan sebagai alat pertama
dalam membangun ekonomie Indonesia, seluruh perusahaan minyak asing yang
ada di Indonesia ini saya tekan harus bantu Permina, selain bisa ngebor
minyak sendiri, membangun rafinerij-nya (rafinerij =kilang, bahasa
Belanda), juga mampu membangun jaringan distribusinya, dari situ
kemudian terbentuk Pasar bangsa sendiri”. Bung Karno adalah Presiden RI
yang terobsesi membangun perekonomian Indonesia yang kuat, Indonesia
mampu membangun pasar-pasarnya sendiri, perekonomiannya harus dipegang
“Orang Indonesia sebagai Panglima” seperti yang ia bilang pada Dasa’at
ketika ia didatangi Dasa’at yang baru saja pulang dari kunjungan bisnis
di Amerika Serikat dan membawakan dasi serta parfum Shalimar, parfum
kesukaan Bung Karno : “Heh, Dasa’at aku ini bermimpi membawa Indonesia
menjadi bangsa yang besar, bangsa yang bisa membangun seluruh jaringan
pasar-pasarnya sendiri di semua kota, seluruh perdagangan dipegang orang
Indonesia, pendek kata “Orang Indonesia harus jadi Panglima atas
ekonomie Indonesia”. Itulah mimpi Bung Karno, dan ia bertarung dalam
mimpi itu. Ia bikin Revolusi, ia jungkir balikken keadaan. Bung Karno
bilang “Kebudayaan yang Berkepribadian, akan menyokong kesejahteraan, ia
bukan sadja penjumbang peradaban dunia, tapi djuga penjumbang ekonomie
bagi bangsanja” Bung Karno berkata itu kemudian benar adanya, sekarang
Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Korea Selatan mampu menjadikan
produk budaya mereka sebagai sumber ekonomie besar yang menyumbang
kesejahteraan bangsanya.
Tindakan Bung Karno jelas nggak disenengin boss-boss besar
perusahaan minyak asing, apalagi Bung Karno berhasil rebut Irian Barat,
gertak Imperialis Inggris, bilang ke Malaysia, “Revolusi Indonesia
adalah lonceng kematian imperialisme” dalam ancamannya ke Malaysia Bung
Karno berpidato yang konteks-nya amat berjangkauan panjang “sebab
het wezen atau inti daripada imperialisme adalah, membuat bangsa-bangsa
tidak berdiri di atas kaki sendiri. Prinsip inti imperialisme ialah
membuat bangsa-bangsa memerlukan barang-barang bikinan imperialis,
memerlukan persenjataan pihak imperialis, memerlukan bantuan pihak
imperialis” Disini Bung Karno sudah memperkirakan bahwa pada
akhirnya akan ada bentuk NeoImperialisme dalam bentuk Modal yang membuat
bangsa-bangsa ‘lemah modal’ bergantung pada bangsa ‘kuat modal’.
Keberanian
Bung Karno ini kemudian bikin marah boss-boss minyak asing, apalagi
Bung Karno bisa rebut Irian Barat dengan diplomasi gertak tanpa harus
menembakkan sebiji rudal-pun. Setelah Irian Barat takluk, Negara barat
pun menggunakan taktik intelijen dan kontra intelijen buat ngadepin Bung
Karno, akhirnya Bung Karno jatuh beneran di tahun 1967. Dia diinternir,
setelah kejatuhan Bung Karno masih ada Ibnu Sutowo yang mati-matian
masih pegang amanat Bung Karno bikin Permina besar, semasa awal Orde
Baru nama Permina diganti jadi Pertamina, Suharto sendiri belum
menemukan orang sehebat Ibnu Sutowo yang bermodalkan hanya tambang
minyak tua di Pangkalan Brandan dengan empat meja dan lima kursi serta
tiga sepeda bisa membangun kilang minyak terbesar di Asia. Saat itu Ibnu
berambisi menjadikan Pertamina sebagai perusahaan minyak raksasa,
sebagai pendorong ekonomi nasional, semua lini industri dimasuki
Pertamina untuk memancing perekonomian swasta bergerak, mulai dari Real
Estate, Pangan sampai pada Rumah Sakit, dibawah jaringan Pertamina. Ibnu
juga berani maen spekulasi, ia bangun LNG, gas cair yang ditertawakan
pembesar Jepang, tapi Ibnu berhasil dengan spekulasi itu, lalu Ibnu
dijebak pada pembatalan pinjaman jangka panjang, Ibnu dituduh korupsi,
Pak Harto juga takut bila Ibnu besar maka akan mudah membiayai
lawan-lawan politiknya, saat itu rivaal Suharto masih kuat dan awalnya
mereka dulu atasan Suharto seperti Nasution, Bung Hatta atau Sri Sultan
HB IX, Suharto juga takut dengan anak buahnya yang naik daun macam
Jenderal Mitro, Jenderal Jusuf ataupun Jenderal Ali Moertopo, semua
adalah ancaman Suharto dalam merebut Istana Merdeka dari tangan Suharto.
Mundurnya Ibnu Sutowo, juga berarti hancurnya rencana besar minyak
nasional yang berencana bukan saja sebagai Perusahaan Minyak terbesar di
Asia, tapi Perusahaan Minyak terbesar di dunia.
Kini saya hanya mengelus dada, melihat SPBU-SPBU asing itu
menguasai pinggir-pinggir jalan raya, bahkan untuk menguasai pasar
retail saja orang Indonesia tidak bisa menjadi Panglima-nya. Kini orang
Indonesia dipaksa beli Pertamax oleh pemerintahan budak asing ini,
padahal persediaan Premium masih berlimpah, Pemerintah hanya ingin jual
Premium ke pasar spekulasi, banyak orang Indonesia susah karena didikte
atas kemauan Pasar Bebas. Benar kata Bung Hatta di masa lampau di tahun
1954 ketika berpidato di depan Pabrik Tekstil milik pengusaha Indonesia
yang baru aja diresmikan sendiri oleh Bung Hatta “Apalah arti Kemerdekaan bila orang Indonesia tak punya hak-hak ekonomie-nya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar