Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Rabu, 17 Oktober 2012

Belajar Merakyat dari Jokowi-Ahok



jokowi-keliling-kampung.jpg
NET
Jokowi keliling kampung


Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, yang lebih populer dengan sebutan Jokowi- Ahok, resmi menjabat Gubernur DKI Jakarta 2012-2017 seusai dilantik dan diambil sumpah oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Gedung DPRD DKI, Senin (15/10/2012).

Pasangan yang pada pemilukada lalu hanya diusung oleh dua partai, PDIP dan Gerindra, ini selanjutnya akan menjalani hari- hari sibuk sebagai pemimpin di ibu kota negara yang sarat dengan persoalan-persoalan tak terselesaikan.

Kiprah Jokowi-Ahok dalam memimpin dan membentuk Jakarta Baru selama 100 hari pertama akan menjadi perhatian banyak orang, bukan hanya yang ada di Jakarta, namun juga oleh kita yang ada di Kalbar.

Selain kisah kemenangan fenomenal yang mengiringi pasangan ini, keberadaan Jakarta sebagai ibu kota negara juga menjadi daya tarik tersendiri. Mampukah Jokowi yang sebelumnya menjabat Wali Kota Solo, dan Ahok yang sebelumnya menjabat Bupati Belitung Timur, menjadikan Jakarta kota yang aman dan nyaman, terbebas dari polusi, macet, kekumuhan, dan banjir?

Sisi lain dari pasangan Jokowi-Ahok yang bisa menjadi cerminan bagi kita, dan juga para pemimpin di Kalbar ini, adalah kebersahajaan yang mereka tunjukkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Mereka tak mau terlalu terikat oleh aturan protokoler, sehingga bisa lebih dekat dengan rakyatnya.

Jokowi, misalnya, tak sungkan-sungkan mendatangi warung tegal di permukiman kumuh untuk sekadar makan bersama dan mendengarkan apa keinginan rakyat. Mungkin hanya sentuhan kecil, namun hal itu sungguh melekat di hati. Rakyat pun merasa ada sosok pemimpin yang dekat dan memperhatikan, minimal mau mendengarkan keluhan-keluhannya.

Kita berharap, para pemimpin kita di Kalbar memiliki kebersahajaan seperti Jokowi-Ahok. Ada satu pasangan gubernur dan wakil gubernur, ada dua pasangan wali kota dan wakil wali kota, serta ada 12 pasangan bupati dan wakil bupati yang kita harapkan menjadi pemimpin yang benar-benar bisa mencintai (dan tentu juga dicintai) rakyat, yang mau duduk lesehan makan seadanya sembari membahas persoalan- persoalan keseharian, dan merumuskan jalan keluarnya secara bersama-sama.

Mungkin tidak perlu "sedramatis" itu, tapi selayaknya mereka tidak jadi pemimpin yang hanya bertapa di kantor ber-AC, yang wajahnya cuma dikenali oleh rakyat melalui foto di koran atau siaran TV.

Jika kita menengok ke belakang, ada cerita tentang seorang pemimpin di tanah Arab, Khalifah Umar bin Khattab, yang kerap menyamar jadi seseorang biasa untuk berbicara langsung dengan rakyatnya yang jelata sekalipun. Suatu hari, ia mampir di sebuah pondok buruk yang didiami oleh seorang nenek tua. Ia lalu menanyakan tanggapan sang nenek tentang kepemimpinannya.

"Semoga Allah tidak memberi ganjaran baik kepadanya," ujar sang nenek, yang kemudian melanjutkan, "Ia sangat jauh dari rakyatnya. Semenjak menjadi khalifah, dia belum pernah menjenguk pondokku ini. Tidak mungkin seorang khalifah tidak mengetahui keadaan rakyatnya walau di mana mereka berada."

Cerita tentang Khalifah Umar bin Khattab yang kerap menyamar menjadi rakyat biasa mungkin tidak relevan lagi di masa kekinian. Seorang pemimpin tak perlu lagi menyamar untuk mengetahui apa yang ada di benak rakyat tentang dirinya.

Pada sisi lain, rakyat pun sudah tak sungkan lagi menyampaikan pendapat dan penilaiannya. Bahkan, juga tak ragu untuk menurunkan sang pemimpin yang tak memberi kehidupan yang sejahtera. (****)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar