Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Selasa, 21 Februari 2012

Anak-anak Masa Lalu

CERITA PENDEK (Cerpen)

BILA tidak ingin celaka, jangan melintas di Jembatan Sinamar pada waktu-waktu lengang, apalagi tepat di saat berserah-terimanya ashar dan magrib! Bukankah begitu sejak dulu, petuah para tetua, perihal jembatan yang tak pernah lekang dan usang itu? Namun, sebagaimana titian biasa runtuh, pantangan biasa dilanggar, bukankah pula, dari masa ke masa, selalu ada gerombolan anak-anak kampung ini, yang diam-diam hendak menyingkap rahasia tersuruk di sebalik pantang dan larang yang terus dimaklumatkan?

Maka, dengan segelimang gamang yang tak ditampakkan, mengendap-endaplah bocah-bocah kerempeng itu, tepat pada waktu terlarang. Mula-mula, sayup-sayup terdengar jerit dan rintih anak-anak seusia mereka, bagai sedang didera rasa sakit yang tak tertanggungkan. Seiring rembang petang, makin terang kedengarannya, hingga mereka memercayai suara gaib yang membuat bulu kuduk meremang itu berasal dari lantai Jembatan Sinamar. Menimbang keriuhan yang kian meninggi, rasa-rasanya asal jerit-rintih itu bukan dari satu orang, mungkin dua atau tiga. Lalu, di benak mereka, terbayang jasad anak-anak yang terjepit dalam jejaring beton bertulang. Mereka lekas berbalik, lari pontang-panting, seperti benar-benar sedang diburu hantu petang hari.

Dua hari selepas petang itu, Tongkin turun tangan. Sebab, Alimba, salah satu dari gerombolan anak-anak pelanggar pantang itu kesurupan. Ia mencak-mencak, lalu membanting barang-barang pecah-belah di rumahnya. Beling dari piring yang berserak di lantai, satu per satu ia kunyah, seperti mengunyah keripik singkong, hingga berderuk-deruk di tenggorokannya. Lantaran tingkah Alimba makin liar, dua penambang pasir Sungai Sinamar meringkusnya, hingga ia menghentak-hentak sambil mengeluarkan pekik yang membuat pedih gendang telinga. Tongkin, dukun pilih tanding, mengerahkan segenap kesaktian, guna merenggut makhluk halus itu dari jasad Alimba.

''Rumahku di sini, di kampung ini, bukan di Jembatan Sinamar!'' ancam Alimba, dengan tatap bengis.

Tongkin tak peduli gertakan itu. Mulutnya terus komat-kamit, melafalkan mantra-mantra.

''Kau tak akan sanggup mengusirku,'' bentaknya lagi.

Sesat Tongkin mundur, ia memperkokoh posisi duduknya. Rupanya ia sedang berhadapan dengan lawan bersengat.

''Siapa kau sebenarnya?'' tanya Tongkin dengan napas terengah-engah.

''Jangan pura-pura tidak tahu! Aku salah satu dari tiga anak yang kepalanya dibenamkan di lantai Jembatan Sinamar.''

Orang-orang terperangah. Tongkin menghela napas dalam-dalam. Tak biasanya, roh jahat yang merasuk ke dalam tubuh kasar mengungkap asal-muasalnya. Sesaat kemudian, Alimba tumbang, lalu pingsan.

***

Dulu, bila ada yang kesurupan, Tongkin selalu berkilah bahwa makhluk halus yang merasuk hanyalah penghuni Sungai Sinamar yang terusik sejak pembangunan jembatan. Namun, setelah Alimba kerasukan, rahasia Jembatan Sinamar mulai tersingkap. Tongkin membenarkan bahwa riwayat usang tentang pemenggal kepala bukan cerita bohong. Kekejaman pemenggal kepala yang telah menjadi kabar petakut di Kampung Subarang, ternyata bukan sekadar dongeng pengantar tidur bagi anak-anak malas yang lebih banyak bermain gundu ketimbang membantu orang tua di ladang. Mulai dari ibu-bapak Alimba, tetangga-tetangga dekat hingga tersiar ke seluruh penjuru kampung, Tongkin membeberkan bahwa jika Jembatan Sinamar hanya dipancangkan dengan beton-beton bertulang, menimbang usianya yang sudah uzur, tentu sudah rubuh. Namun, tiga kepala yang dibenamkan bersama adukan cor, telah membuatnya bagai tiada pernah lekang dimakan usia. Saat gempa dahsyat memporak-porandakan rumah-rumah warga Kampung Subarang, Jembatan Sinamar jangankan runtuh, terguncang pun tidak. Tiang-tiangnya masih menancap kokoh, apalagi lantainya, meski setiap hari truk pasir bermuatan sarat lalu-lalang melintasinya. Dan, itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

Di masa lalu, Kampung Subarang pernah gempar lantaran kehilangan tiga bocah laki-laki, sepulang menonton pacuan sapi, tak jauh dari tepian Sungai Sinamar. Mereka dikabarkan hanyut saat menyeberangi sungai itu. Begitu hasil penerawangan batin para dukun yang melacak keberadaan mereka. Berhari-hari Sungai Sinamar diselami, dari hilir hingga hulu, tapi mayat mereka tak ditemukan. Setelah semua daya-upaya dilakukan, akhirnya ketiga orang tua anak-anak yang hilang tak jelas rimbanya itu memercayai bahwa mereka telah diculik orang bunian. Tidak meninggal sebagaimana yang diperkirakan, tapi mustahil kembali, karena mereka sudah terhisap ke dalam alam halus. Orang-orang Subarang merelakan tiga bocah itu menjadi anak-anak masa lalu yang tak pernah lagi diungkit-ungkit riwayatnya.

Padahal, mereka tergoda oleh iming-iming dua lelaki asing namun berperawakan ramah dan baik hati. Mereka dibujuk dengan ajakan menonton pertunjukan kelompok sirkus yang waktu itu sedang manggung di kota kabupaten. Dua lelaki itu mengendarai mobil bak, dan sudah pasti mereka akan dibolehkan bergelantungan di mobil itu. Pengalaman yang mahal untuk ukuran anak-anak Kampung Subarang masa itu.

Namun, sebelum sampai di kota, di sebuah tempat lengang, mobil tiba-tiba berhenti. Salah satu dari dua lelaki asing turun, mendekati tiga bocah yang sedang asyik bergelantungan.

''Sebelum masuk ke arena sirkus, kalian harus pakai ini,'' katanya, sembari membagikan topi warna hijau.

Sekilas topi itu mirip lackpet yang biasa dipakai tentara zaman dulu. Bila cuaca dingin, dua sisi bawahnya dapat dikancingkan di dagu. Sementara di sisi belakang, yang bersentuhan langsung dengan kuduk, menyembul dua ujung kawat halus sepanjang empat senti. Kawat baja itu tersembunyi di dalam kain yang akan melingkari leher.

''Arena sirkus akan ramai pengunjung. Topi itu memudahkan kami mencari kalian, begitu pertunjukan usai.''

''Bila tidak, kalian bisa hilang dalam keramaian.''

Mereka bergegas menyarungkan topi di kepala masing-masing, dan memasang kancing di bawah dagu. Ada yang berdetak di kuduk, bunyinya seperti gembok yang terkunci, hingga leher mereka bagai tercekik. Anak-anak yang telah masuk perangkap diminta turun. Mereka tidak membantah lantaran tenggorokan yang tersekat, sementara topi tidak bisa dibuka lagi. Dengan posisi menyilang dua lelaki itu menyentakkan kawat baja di kuduk anak-anak itu. Seketika kepala mereka lepas dari badan. Nyaris tak ada pekikan. Penyembelihan yang dingin. Lebih lekas dari menggorok leher sapi. Tiga topi berisi kepala menggelinding di dalam mobil bak, segera diserahkan kepada pimpinan proyek pembangunan Jembatan Sinamar.

***

Setelah meraih gelar insinyur dengan predikat cum laude dari sebuah universitas ternama di Jawa, belasan tahun lalu, Alimba memang belum pernah pulang. Namun, sosoknya seumpama layang-layang yang sedang tegak-tinggi tali. Jauh, namun tampak dekat. Dekat, tapi tampak jauh. Selalu ada yang berkabar bahwa di tanah Jawa, insinyur Alimba, telah menjadi pemborong besar, utamanya dalam proyek pembangunan jembatan layang. Kualitas konstruksi yang dikerjakan oleh perusahaan milik Alimba telah teruji. Tiga dari lima tender proyek jembatan layang selalu dimenangkan PT Sinamar Jaya Karya. Tak terbayangkan, Alimba bocah kerempeng dari Kampung Subarang, terlahir dari keluarga susah, kini menjadi kontraktor dengan reputasi tak tertandingi, bahkan konstruksi jembatan karya para insinyur tamatan luar negeri tak sanggup mengimbangi karya-karyanya.

Kalaupun ada kelemahan Alimba, itu hanya soal suara-suara gaib yang menyeruak dari setiap jembatan yang pernah dibangunnya. Tepat di saat bertimbang-terimanya ashar dan magrib, akan terdengar jerit dan rintih anak-anak yang seolah-olah sedang terjepit di dalam jejaring beton bertulang. Siapa yang melintas pada waktu terlarang itu, bakal celaka. Bila tidak tabrakan beruntun, setidaknya kendaraan terguling lantaran kecepatan yang tak terkendali. Sejauh ini sudah tak terhitung jumlah korbannya.

''Pasti ada yang tidak beres! Mesti diungkap. Bila kita tidak ingin terus kalah tender,'' begitu sinisme seorang pesaing Alimba.

''Bagaimana cara membuktikan setan-setan jembatan itu?'' tanya anak buahnya.

''Alimba terlalu kuat. Sekuat konstruksi jembatan hasil karyanya.''

''Ah, apalah guna mutu, bila setiap bulan selalu menagih darah?''

***

Bila di masa lalu, Subarang heboh karena kehilangan tiga bocah laki-laki yang telah direlakan menjadi anak-anak masa lalu, kini kampung itu kembali gempar setelah TV dan koran-koran menayangkan kabar tentang seorang kontraktor proyek jembatan layang yang diduga sebagai otak di balik penemuan potongan-potongan tubuh mayat yang belakangan ini telah meresahkan. Dikabarkan, buronan bernama Alimba itu telah membenamkan ratusan butir kepala anak-anak jalanan di dalam jejaring beton bertulang, sebagai tumbal demi kekokohan konstruksi setiap jembatan yang dibangunnya. Orang-orang suruhan Alimba berkhianat, dan menyebarkan jasad-jasad tanpa kepala di setiap penjuru kota, hingga reputasi PT Sinamar Jaya Karya tak terselamatkan.

Dari kejauhan, orang-orang Subarang berdoa semoga Alimba, si pemenggal kepala, beroleh tempat bersembunyi yang tidak bakal terlacak siapa pun. Betapapun sadisnya perbuatan Alimba, ia telah menghidupi anak-anak muda yang dulu hanya pemadat jalan di Kampung Subarang, kini menjadi orang-orang yang beruntung di perantauan. Alimba menampung dan mempekerjakan mereka.

''Ini salah Tongkin,'' umpat salah seorang tetua Kampung Subarang.

''Tongkin sudah mati. Ia jangan dibawa-bawa!''

''Bukankah Tongkin yang membeberkan cerita tentang pemenggal kepala, dan Alimba mengambil pelajaran dari situ?''

Daruih, dukun muda pewaris kesaktian Tongkin, menyanggah. Baginya, kabar yang telah menjadi aib Kampung Subarang bukan salah Tongkin, bukan pula Alimba, tapi ulah salah seorang dari anak-anak masa lalu, tumbal Jembatan Sinamar. Arwah yang pernah merasuki Alimba semasa kanak-kanak tak sungguh-sungguh pergi, hingga kini bahkan masih bersarang di tubuh insinyur hebat itu. Ia melunaskan dendam lewat tangan Alimba...

cahaya titis, 2010

*) Damhuri Muhammad , cerpenis, bermukim di Jakarta

Pergi ke Pesantren, Anak Hilang

Pontianak – Devi, warga Gang Baru 3, Siantan Tengah sampai saat ini kebingungan. Putra sulungnya, Arisuratna, 14 menghilang ketika berangkat menuju pesantren tempatnya mondok di Desa Parit Surabaya, Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya.
Diceritakan Devi, kejadian bermula, Aris pulang ke rumah lantaran sakit cacar. Sekitar sebulan beristirahat di rumah, Aris pun bermaksud sekolah lagi. Walaupun siswa kelas 1 SMP ini belum sembuh benar.
Jumat (10/6) sekitar pukul 08.00, Devi mengantar anaknya ke dermaga di Siantan. Menggunakan motor air, Aris menuju pesantren tempatnya menimba ilmu.
“Saya pun lupa nama pesantrennya. Yang pasti pesantren tersebut di Parit Surabaya, Sungai Ambawang,” ujar Devi ketika dihubungi Equator via selular, Sabtu (11/6) siang.
Usai motor air tumpangan anak kesayangannya berangkat, Devi pun pulang. Namun sore harinya kakak sepupu Aris yang juga mondok di pesantren tersebut menelepon Devi. Dia menanyakan mengapa Aris belum juga sampai.
Terang saja Devi terkejut. Sebab dia sendiri yang mengantar putranya ke dermaga untuk naik motor air. Devi berusaha mencari keberadaan Aris. Bahkan pihak keluarga teman-teman Aris sudah dihubungi, namun tidak juga mendapatkan informasi mengenai keberadaan Aris.
Dikatakan Devi, saat berangkat Aris mengenakan baju warna hitam dan celana pramuka. Ia pun membawa uang Rp600 ribu untuk keperluan biaya pendidikannya tersebut. Sementara ciri-cirinya, seluruh tubuh Aris penuh luka cacar. “Saya juga sudah bertanya kepada orang-orang di dermaga Parit Surabaya. Katanya tidak ada Aris berhenti di dermaga Parit Surabaya,” ujarnya.
Hingga saat ini Devi terus berusaha mencari putra kesayangannya tersebut. Dia mengharap bagi masyarakat yang mengetahui keberadaan anaknya itu agar dapat menghubunginya.
“Bagi warga yang mengetahui keberadaan anak saya agar dapat menghubungi ke nomor saya, yaitu 081352561553. Dapat juga diantar langsung ke Gang Baru 3 RT 003 Rw 025, Siantan Tengah atau melaporkan ke aparat kepolisian terdekat,” pintanya. (arm)

Kiki, Pulanglah

Kiki Nurhaliza
Istimewa
Kiki Nurhaliza
Nanga Pinoh – Sudah hampir seminggu Kiki Nurhaliza, 14, warga Nanga Pinoh menghilang. Siswi kelas 3 SMP Negeri 1 Nanga Pinoh ini menghilang sejak Senin (30/1) silam.
Menghilangnya anak pertama dari dua bersaudara itu membuat orang tuanya panik. Telah dicari ke mana-mana, namun tanpa hasil. “Keberadaan Kiki tidak diketahui semenjak Senin lalu,” kata Yunita, ibunda Kiki saat bertandang di kantor Biro Harian Equator Melawi, kemarin.
Selama ini Kiki tinggal bersama Sri Yani, bibinya di Nanga Pinoh. Sementara Yunita sendiri tinggal di Sintang. Sore Senin sebelum menghilang, Kiki ke rumah Yunita di Sintang. Kiki meminta uang dan HP kepada ibundanya. Setelah keperluannya terpenuhi, Kiki pamit pulang.
“Sore Senin Kiki dari Nanga Pinoh ke Sintang. Dia sangat tergesa-gesa ke rumah saya. Hanya sebentar saja. Langsung pulang lagi. Namun, sampai hari ini masih belum ada kabarnya,” cerita Yunita sedih.
Berbagai daya dan upaya dilakukan Yunita dan suaminya. Mulai mencari ke kediaman sanak famili bahkan ke rumah teman-temannya. Termasuk meminta Harian Equator untuk menginformasikan kehilangan Kiki. Harapannya, agar Kiki bisa kembali dalam keadaan sehat.
“Siap saja yang mengetahui keberadaan Kiki agar bisa memberi tahu kami di nomor 082152967477. Kiki, pulanglah, Nak,” ungkap Yunita mengusap air matanya. (aji)

Menghilang Sejak Malam Valentine

Deli Marni
Antonius Sutarjo
Deli Marni
Ngabang – Sejak malam Valentine, Selasa (14/2) lalu, Deli Marni, 16, putri sulung Anton tidak pulang ke rumah. Kedua orang tua Deli menantikan kedatangan anaknya. Perasaan cemas menghantui Anton dan istrinya semenjak putrinya menghilang.
“Jika Deli Marni ini pulang, saya tidak akan memarahinya. Malah saya akan menaburkan beras kuning sebagai ungkapan syukur kembalinya Deli ke rumah,” kata Anton, warga Desa Pawis, Kecamatan Jelimpo, Kamis (16/2).
Ayah enam anak ini mengakui dirinya sedikit keras dalam mendidik anak-anaknya. Anton mengira Deli takut pulang karena akan dimarahi. “Saya sangat sayang sama anak. Saya janji jika Deli pulang saya tidak akan marah,” ungkapnya.
Pria yang sehari-harinya hanya bertani ini mengungkapkan, Deli waktu pergi dari rumah tidak pamit. Saat itu Anton dan istrinya tidak ada di rumah. “Saya panen padi di sawah yang jauh dari kampung. Pada saat itulah Deli pergi,” ujar Anton.
Siswi kelas dua SMPN Pawis, Kecamatan Jelimpo ini pergi dari rumah Selasa (14/2) pagi. Kata tetangga yang melihat kepergiannya, gadis tersebut naik angkutan umum arah Ngabang. Padahal Deli tidak punya uang. “Mungkin untuk bayar ongkos angkutan tidak bisa,” jelas Anton.
Amelia, bibi Deli, mengatakan keponakannya sedikit pendiam. Kalau pergi ke Ngabang untuk belanja biasanya pakai celana jeans panjang warna biru dan membawa tas kecil berwarna merah.
“Ciri-cirinya, rambutnya pendek sebahu, kulit kuning langsat, tinggi badan sekitar satu setengah meter, suka membawa tas kecil merah kalau ke Ngabang, orangnya sedikit pendiam,” kata Amelia.
Ayah dan bibinya sudah mencari ke mana-mana. Beberapa rumah temannya juga sudah didatangi. Bahkan rumah keluarga di Pontianak dan Banyuke. “Hotel-hotel yang ada di Ngabang sudah saya cek satu per satu, tapi juga tidak ditemukan,” jelas Amelia.
Rencananya Anton dan Amelia akan melaporkan kehilangan Deli ke kantor polisi. Siapa melihat ciri-ciri yang sudah disebutkan, harap menghubungi ke nomor HP Anton 085750136851 dan Dana 085250898948. (tar)