Bidayuh
adalah sebuah nama bagi sekelompok masyarakat Dayak yang tinggal di
pedalaman Kalimantan Barat. Para ahli dan peneliti linguistik maupun
antropolog sering menyebutnya dengan istilah land Dayak atau orang Dayak
daratan atau pedalaman, hal itu dikarenakan kelompok sub Dayak ini
banyak memilih tinggal di pedalaman yang jauh dari pantai laut dari pada
di tepian pantai. Selain itu mereka juga banyak mendiami wilayah
perbukitan dan gunung-gunung di Kalimantan Barat. Untuk mengakses mereka
bisa dilalui melalui jalan sungai atau darat.
Kelompok Dayak
dari sub Bidayuh ini banyak terdapat di Kabupaten Sanggau, sebagian
Kabupaten Bengkayang, Landak, Sekadau dan sebagian kecil di Kabupaten
Ketapang. Keberadaan mereka sebagai masyarakat pedalaman telah membawa
banyak dampak bagi pembangunan di Kalimantan Barat. Walaupun mereka
belum terdata dengan pasti dari jumlah populasi tetapi yang pasti
Bidayuh di Kalbar cukup mampu membawa perubahan pembangunan dengan baik.
Bidayuh
merupakan bagian dari masyarakat Dayak yang mempunyai bahasa dengan
ciri dan khas Bidayuh atau Bidoih. Kekhasan bahasa mereka digolongkan
oleh para ahli dan peneliti bahasa sebagai bagian dari kelompok bahasa
dari grup Bidayuhic. Bidayuh merupakan bagian kecil dari 405 sub Dayak
yang ada di Kalimantan yang juga oleh Dr. H.J. Malin seorang kontroleur
digolongkan kedalam bagian Dayak Klemantan. Menurutnya ada 6 stammenras
dari 405 sub suku Dayak di Kalimantan yang 147 nya ada di Kalimantan
Barat. Stammenras tersebut diantaranya adalah (1) Kenyah-Kayaan-Bahau,
(2) Ot Danum atau Uud Danum, (3) Iban, (4) Murut, (5) Klemantan dan (6)
Punan.
Bidayuh atau Bideyeh atau Bidoih merupakan bagian dari
stammenras Klemantan dengan bahasa yang khas. Walaupun Bidayuh merupakan
stammenras Klemantan, ia sendiri mempunyai banyak bagian yang dinamakan
sebagai sub suku Bidayuh. Sub suku dari Bidayuh ini sendiri mempunyai
banyak bahasa yang berbeda intonasi, kata, dan gaya bahasanya. Walaupun
berbeda ia masih dapat dilihat sebagai bagian dari Bidayuh dari kosa
kata dan aksen-aksen bahasa nya sehingga siapa saja dapat membedakannya
dengan memahami bahasanya bahwa ia berasal dari Bidayuh yang mana.
Bidayuh
sendiri bukan saja terdapat di Kalimantan Barat, ia juga dapat dijumpai
di Sarawak Malaysia Timur. Mereka dapat dengan mudah dijumpai
disepanjang perbatasan antara Kalimantan Barat-Indonesia dengan
Sarawak-Malaysia. Kedua Bidayuh tersebut tidak ada yang berbeda karena
kedua-duanya adalah sama Bidayuh hanya dipisahkan oleh garis
administrative politis antar negara saja. Bidayuh di Sarawak populasi
dan keberadaannya jauh lebih berkembang jika dibandingkan dengan Bidayuh
di Kalimantan Barat. Hal itu tidak terlepas dari peran pemerintah
Malaysia dalam memberikan akses kemudahan bagi masyarakatnya termasuk
Bidayuh. Walaupun begitu tidak sedikit pula masyarakat Bidayuh Sarawak
menjadi korban politik negaranya sendiri misalnya dalam bidang investasi
perkebunan yang dilakukan dibawah naungan pemerintah Negara Malaysia.
Secara politis Bidayuh Kalimantan Barat jauh lebih berpeluang maju dan
berkembang karena iklim demokrasi sudah terbuka dengan lebar dan mudah
tinggal bagaimana Bidayuh Kalbar mengembangkan dirinya sendiri agar
mencapai tujuan dan cita-cita kejayaan nya dikemudian hari.
Perkataan
Bidayuh sendiri sebenarnya merupakan sebuah susunan huruf yang ditulis
oleh para penulis masa itu menurut pendengarannya sehingga dihasilkanlah
tulisan berbentuk “BIDAYUH”. Dalam budaya Bidayuh tulisan tidak dikenal
sehingga tidak ada satu kode pun yang dapat mewakili “perkataan
Bidayuh”. Hal itu telah menyulitkan banyak pihak untuk memahami apa dan
bagaimana sebenarnya tulisan yang benar sebab sebagian kelompok Bidayuh
yang lainnya mempunyai bentuk tulisan lain yang mewakili kata “Bidayuh”
tersebut misalkan dengan tulisan kata “ Bideyeh, Bidayah, Bidoih atau
Obi Doih”. Walaupun begitu apapun yang disebutkan oleh masyarakat
mewakili konsonan dan vocal dari lambang bunyi tersebut, para penulis
terdahulu telah menuliskan kata Bidayuh menjadi kata penunjuk bagi
masyarakat dengan rumpun bahasa Bidayuhic atau dari stammenras Klemantan
tersebut atau yang sering ditulis sebagai land Dayak dalam berbagai
literature.
Sampai saat ini pengertian Bidayuh, Bideyeh maupun
Bidoih masih belum berubah. Pengertian dasar dari arti kata Bidayuh
dapat dibagi dalam dua suku kata yakni Bi = orang dan dayuh = darat atau
pedalaman. Jadi pengertian umum Bidayuh adalah orang yang mendiami
wilayah daratan atau pedalaman dari pulau borneo. Beberapa kata juga ada
yang memiliki kemiripan tulisan maupun bunyi nya diantaranya kata doih
dan daih. Doih berarti darat atau pedalaman sedangkan daih memiliki arti
besar. Dalam konteks ini pengertian daih bukanlah prioritas untuk
dibahas sebab maknanya agak melebar dari makna sesungguhnya. Doih atau
Dayuh ataupun Deyeh dipilih sebagai arti kata yang mewakili arti darat
atau pedalaman bukanlah pengertian yang diada-adakan tetapi memang arti
dari makna kata tersebut memang mengandung arti darat atau pedalaman.
Referensi
tentang Bidayuh justeru lebih banyak ditemukan di Sarawak Malaysia dari
pada di Indonesia, mengapa? Hal itu tentu dikarenakan oleh keinginan
berbagai pihak termasuk kaum Bidayuh sendiri untuk mencatat dan
menyimpan arsip adapt budaya mereka sendiri kedalam berbagai bentuk
arsip misalkan dalam bentuk gambar photo, rekaman video, tulisan-tulisan
ilmiah maupun berupa artikel biasa. Hal ini lah yang menjadikan Bidayuh
di Sarawak kaya akan literature tentang diri mereka sementara Bidayuh
di Kalimantan Barat sendiri sangat minim literature tentang Bidayuh.
Minimnya
literature Bidayuh Kalimantan Barat dapat dimaklumi karena memang belum
banyak orang yang berminat menulis dan mengarsipkan data-data tentang
Bidayuh di Kalbar termasuk belum terlihat minat dari orang Bidayuh
sendiri mengangkat tentang siapa diri mereka kedalam berbagai bentuk
dokumentasi.
Banyak orang mampu dari kalangan Bidayuh di Kalbar
tetapi tidak satutpun yang rela berkorban untuk membantu
mendokumentasikan data-data mengenai keberadaan Bidayuh di Kalbar
khususnya di wilayah Kabupaten Sanggau dan 4 kabupaten lainnya itu. Jika
ada sedikit kepedulian saja maka litertur tentang Bidayuh akan dapat
terwujud sebagai sebuah karya ilmiah bagi seluruh masyarakat bukan hanya
bagi orang Bidayuh saja melainkan juga bagi seluruh masyarakat dunia.
Adanya literature akan mempermudah generasi Bidayuh kedepan untuk meraih
gelar sarjana dalam penulisan skripsi maupun tesisnya tentang Bidayuh
sehingga tidak sia-sia data-data tentang Bidayuh dikumpulkan dan dikemas
dalam berbagai format arsip.
Kata Bidayuh maupun Bidoih serta
Bideyeh sama sekali bukan sebuah persoalan, yang jelas bahwa penulisan
kata Bidayuh sudah mewakili apa yang dimaknai sebagai masyarakat kaum
Bideyeh dan Bidoih. Sebutan tersebut didasari oleh oral sub suku
tersebut dalam menyebutkan bunyi bahasa yang dihasilkan dari lidah dan
mulut serta bibir terhadap sebuah atau suatu kata. Jadi hal tersebut
sama sekali tidak berpengaruh terhadap penggunaan kata Bidayuh sebagai
wakil lambang bunyi bahasa dari masing-masing sub etnik dari rumpun
Bidayuh itu sendiri karena perkataan Bidayuh juga diterima sebagai wakil
dari sebutan untuk Bidoih dan Bideyeh.
Bidayuh maupun Bidoih
juga menerima kenyataan bahwa diri mereka juga masuk sebagai bagian dari
kelompok masyarakat non muslim yang tinggal di pedalaman yang kemudian
oleh para penulis Belanda disebut sebagai Dayak, karena menurut
definisinya bahwa semua masyarakat pedalaman di Kalimantan yang tidak
beragama Islam dan masih memegang teguh adat istiadat aslinya dapat
digolongkan kedalam sebuah grup bernama Dayak yang dulu ditulis sebagai
Daya, Dyak atau pun Dayaker. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa
bahasa-bahasa suku Dayak sangat berbeda satu sama lain sehingga Dayak
tidak lagi cocok disebut sebagai suku melainkan Bangsa.
Dalam
catatannya, Tjilik Riwut lebih senang menuliskan kata suku bangsa Daya
dari pada hanya sekadar suku Dayak saja. Mungkin karena ia telah melihat
bahwa Dayak terdiri dari suku dan bahasa yang beragam layaknya sebuah
bangsa dalam sebuah Negara. Agaknya tidaklah berlebihan bahwa
kenyataannya memang demikian bahwa Dayak sulit disatukan prinsipnya
kecuali dalam hal perang. Dalam hal ekonomi Dayak baru mulai bangkit dan
bersatu tetapi sebelumnya tidak. Dalam hal politik masih belum nampak
dimana persatuan dan kesatuannya karena masing-masing orang lebih senang
mencari kekayaan untuk dirinya sendiri melalui jalur politik dan
pemerintahan sehingga tidak jelas komitmen pembangunannya terhadap
masyarakat Dayak. Dayak sendiri kini sangat populer karena keberaniannya
menggunakan kata “Dayak” yang berarti bodoh, miskin, tertindas dan
jorok seperti binatang. Anggapan tersebut mereka coba bantah dengan
menampilkan siapa Dayak yang sesungguhnya. Memang diakui bahwa jaman
dahulu siapa saja baik Dayak, Melayu, Cina, Batak, Jawa dan suku-suku
lainnya di Indonesia sama-sama jorok, miskin dan bodoh, sekali lagi itu
adalah jaman dahulu. Jaman terus berubah dan berkembang, Dayak dahulu
dengan sekarang tentu berbeda, apakah masih relevan menggunakan istilah
Dayak itu bodoh, miskin, jorok dan tertindas? Jawabannya ada dihati kita
semua.
Bidayuh bagian dari Dayak yang digolongkan kedalam ras
Klemantan merupakan Dayak pedalaman yang banyak mendiami perbukitan,
pegunungan dan sungai-sungai kecil diantaranya botang Sekayam atau
Sungai Sekayam dan sungai-sungai kecil lainnya. Mereka hidup berladang
dan berkebun karet secara tradisional. Kini ada banyak perusahaan
perkebunan kelapa sawit yang masuk ke wilayah mereka dengan menjanjikan
kesejahteraan namun kenyataannya berbeda. Kesejahteraan yang dijanjikan
ternyata berbuah kesengsaraan. Dari sana Bidayuh harus melihat dirinya
bahwa ia tidak akan bias hidup terus dengan caranya yang lama melainkan
harus merubah diri secepat mungkin agar dapat sesuai dan mampu sejajar
dengan suku-suku lain di Indonesia. Kaum Bidayuh harus sekolah dan maju
serta menguasai berbagai bidang baik ekonomi, politik, social budaya,
dunia pendidikan dan sektor-sektor lainnya. Jika tidak ingin Bidayuh
hancur dan dikuasai orang lain maka satu-satunya cara saat ini adalah
Bidayuh harus mau merubah diri dalam waktu secepat-cepatnya dan
menguasai berbagai sumber daya yang telah ada maupun yang belum
terlihat. Kita memang tidak mampu membuat Negara tetapi kita harus
membuat perubahan.
Bidayuh-Bidoih Kodatn
Bidayuh Kodatn atau
sering juga disebut dengan istilah Bidoih Kodatn atau Pangkodatn
merupakan bagian terkecil dari Bidayuh secara keseluruhan. Bidayuh
Kodatn sendiri lebih sering disebut sebagai Bidoih bukan Bidayuh. Kata
Bidoih lebih sering dipakai ketimbang kata Bidayuh walaupun keduanya
mempunya makna yang sama yakni orang pedalaman atau daratan.
Bidoih
Kodatn memang mempunyai dialeg bahasa yang berbeda dengan orang-orang
Bidayuh pada umumnya oleh karena mereka berawal dari satu rumpun maka
unsure kata dalam bahasa mereka hampir 90% sama. Kalaupun ada perbedaan
hal itu terdapat dalam dialeg, aksen dan beberapa kosa kata, namun
secara jelas bahwa Orang Bidoih Kodatn termasuk kedalam rumpun Bidayuh
dan dapat digolongkan dalam kelompok bahasa Bidayuhik.
Dalam buku Van
Hulten ditulis bahwa orang-orang Bidayuh termasuk orang Bidoih Kodatn
merupakan sub kecil dari sebuah kelompok besar Dayak yang dibagi dalam 6
stammenras, Bidayuh sendiri masuk dalam kelompok Dayak Klemantan.
Bidoih
Kodatn sendiri berasal dari sebuah tembawang tua yang bernama Temawakng
Daih dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai Temawakng Besar.
Temawakng sendiri dimaksudkan adalah sebuah tempat tinggal sekelompok
masyarakat Bidoih pada jaman itu yang sudah tidak dihuni lagi dimana
didalamnya terdapat warisan seperti tanah, kebun buah-buahan dan segala
isi didalamnya yang telah berubah rimbun kembali menjadi mirip hutan.
Biasanya
dalam sebuah tembawang terdapat berbagai jenis pohon buah-buahan
seperti durian, tengkawang, pohon karet dan berbagai jenis pohon
buah-buahan didalamnya termasuk tanah dimana tumbuh-tumbuhan tersebut
hidup. Sebelum menjadi sebuah tembawang, wilayah tersebut dulunya
diladangi untuk ditanami padi. Setelah padi selesai dipanen maka tanah
itupun ditinggalkan. Sebelum ditinggalkan pemiliknya, tanah itu terlebih
dahulu ditanami berbagai jenis tumbuh-tumbuhan seperti yang disebutkan
diatas. Setelah ditanami, wilayah itupun ditinggalkan sekian puluh tahun
lamanya tanpa dirawat sampai pohon-pohon tersebut tumbuh dan besar
serta rimbun. Tempat itulah kemudian yang disebut sebagai tembawang.
Sejarah
kedatangan Bidoih Kodatn di Temawakng Daih tidak diceritakan atau tidak
diketahui secara pasti, yang jelas menurut para nara sumber hasil
wawancara bersama mereka bahwa Orang Kodatn atau Bidoih Kodatn sejak
semula memang sudah berada di Temawakng Daih. Mereka hidup sebagai satu
kesatuan masyarakat Bidoih dengan tatanan kehidupan demokrasi menurut
caranya sendiri. Bidoih Kodatn sendiri banyak yang tidak mengetahu
secara pasti darimana sebenarnya mereka berawal, namun menurut salah
seorang sumber seperti yang ditutur ulang oleh Urbanus Didi seorang
Putra Kodatn mengatakan bahwa ayahnya Pastor Sanding, OFM.Cap bernama
Sangel pernah bercerita padanya semasa ia kecil bahwa orang Bidoih
Kodatn ini berasal dari Mayao. Mengenai kebenarannya masih perlu dicari
lebih dalam lagi sebagai kaijan bersama apakah memang benar pecahan
terkecil Bidoih Mayao kemudian menjadi apa yang sekarang disebut sebagai
Bidoh Kodatn? Jika ditinjau dari segi bahasa, memang banyak kesamaan
dan kemiripan daripada perbedaan. Keduanya menggunakan bahasa Bidoih
yang dikenal dengan nama “bekidoh”. Kenapa disebut bekidoh? Sampai kini
juga masih belum jelas apakah karena kata itu lebih simpel untuk
menunjukkan identitas bahasa suatu sub suku di wilayah ini. Yang jelas,
kata bekidoh lebih dikenal banyak orang dari pada istilah lainnya
sehingga sampai saat ini bekidoh juga digunakan untuk menunjukkan sebuah
identitas sub suku Dayak yang ada di wilayah Kabupaten Sanggau.
Soal
asal usul Bidoih Kodatn dari Mayao bias saja benar sebab bahasa
keduanya adalah bekidoh sehinga ada kaitan dari sisi bahasa sekalipun
ada dialeg yang berbeda. Dalam sub Bidoih, dialeg dapat menunjukkan asal
darimana orang tersebut berasal atau orang apakah dia. Jadi untuk
mengenal mereka akan sangat gampang yakni dapat dikenal melalui dialeg
bahasanya ketika ia berbicara. Sampai kini pun bagi orang Bidoih
banyaknya bahasa Bidoih ini tercipta oleh apa masih menjadi misteri dan
pertanyaan besar mengapa bias demikian.
Jika merujuk kembali
kepada sejarah Tamputn Juah mungkin akan dapat ditemui jawabannya secara
ilmiah walaupun ada cukup banyak sub suku Bidayuh/Bidoih yang
mengatakan bahwa terjadinya berlainan bahasa Dayak disebabkan oleh
keracunan jamur hutan ketika lari dari Tamputn Juah tanah leluhur orang
Bidayuh dan Iban. Ada juga versi lain karena memakan burung elang
raksaksa yang mati menabrak sebagian ujung Bukit Tiong Kandang di Batang
Tarang sehingga menyebabkan sebagian ujung bukit itu pecah dan
membentuk seperti apa yang dilihat saat ini. Mungkin semuanya benar
untuk mencari pembenaran bahwa bahasa Dayak Bidayuh terpecah-pecah oleh
karena sesuatu dan lain hal. Walaupun begitu semua ceritra tersebut
tidaklah serta merta disalahkan karena mengandung unsur yang dianggap
legenda atau tidak terdapat bukti-bukti kuat bahwa ceritra tersebut
nyata adanya, namun mungkin secara ilmiah dapat dikatakan bahwa
terjadinya bahasa-bahasa Bidayuh yang terpecah belah menjadi sub bahasa
itu secara sengaja diciptakan dengan alasan tertentu.
Ketika itu
di Tamputn Juah menurut versi Bidayuh dan Iban ada sebuah pertengkaran
dan perkelahian hebat antara manusia dengan hantu penjaga wilayah
Tamputn Juah. Dulu hidup keduanya harmonis, oleh karena adanya kecemaran
di wilayah itu maka kelompok makhluk halus atau para hantu tersebut
akhirnya berkelahi dengan manusia sehingga oleh kelompok hantu wilayah
Tamputn Juah diberi wabah bau tahi atau bau kotoran manusia. Apa saja
dimakan rasa dan baunya serupa dengan kotoran manusia termasuk nasi yang
dimasak berbau kotoran manusia sehingga hal ini membuat manusia Bidayuh
dan Iban tidak lagi sanggup tinggal disana. Karena tidak sanggup lagi,
maka banyak penduduk di wilayah Tamputn Juah terpaksa melarikan diri dan
berpencar jauh dari Tamputn Juah. Ada yang menuju wilayah Utara,
Selatan, Timur dan Barat.
Sebelum melarikan diri, beberapa
kelompok Bidayuh tersebut terpaksa mengubah bahasanya agar tidak
dikenali para hantu bahwa semula mereka penduduk Tamputn Juah. Karena
hukum antara manusia dan hantu saat itu sangat erat dan kuat maka para
hantu tidak akan menyerang penduduk suku lain dari bahasa orang itu maka
solusi untuk lari dari Tamputn Juah adalah mereka harus merubah bahasa,
dialeg, aksen dan kosa katanya dengan maksud agar para hantu tidak
menyerang mereka lagi ditempat yang baru. Alasan tersebut logis dan
ilmiah, inilah yang memungkinkan terjadinya perpecahan bahasa selain
dari teori terjadinya bahasa yang ada dalam ilmu linguistik
Sebelumnya
di Tamputn Juah pasti hidup kelompok Bidayuh dengan bahasa Bidayuh yang
sejenis termasuk kaum Iban dengan bahasa Ibannya yang sejenis. Para
hantu sudah mengetahui hal itu sehingga atas nama hukum keduanya para
hantu tidak berhak menyerang sembarangan penduduk kecuali dari sub
bahasa tertentu. Hal inilah yang kemudian menjadikan bahasa-bahasa
Bidayuh menjadi berbeda satu sama lainnya. Hal serupa pun dialami bangsa
Iban dimana ada banyak dialeg Iban berbeda satu sama lainnya sehingga
kelompok mereka dapat disebut sebagai kelompok rumpun Iban.
Bidoih
Kodatn sendiri percaya bahwa mereka berasal dari Tamputn Juah. Hal itu
pun sama seperti yang diungkapkan Bidoih lainnya. Mereka harus
menelusuri Sungai Sekayam hinga menembus botakng Kapuas (Sungai Kapuas).
Mereka akhirnya berhenti dalam persinggahannya dan mendirikan kampung.
Mungkin dari sanalah Bidoih Kodatn memulai kisah keberadaan mereka di
Temawakng Daih.
Banyak orang bertanya-tanya sebenarnya Temawakng
Daih itu dimana? Sebagian orang termasuk generasi muda banyak yang tidak
pernah tahun dimana sebenarnya tempat itu. Menurut kisah legenda dan
bukti-bukti otentik serta menurut berbagai nara sumber bahwa Temawakng
Daih Bidoih Kodatn atau Bi’Kodatn terletak di antara Kampung Prongakng
atau yang kini dikenal dengan Rantau Perapat dengan koja dorik Empulor
atau kaki bukit Empulor. Lokasi itu kini sudah menjadi hutan muda dan
kebun karet serta ditumbuhi banyak bambu, durian dan pohon-pohon
lainnya.
Secara Administratif, wilayah Temawakng Daih masuk dalam
wilayah Kecamatan Parindu dan kampung Kodatn terakhir adalah Rantau
Perapat karena ia serta satu-satunya yang masuk wilayah Kecamatan
Parindu Kampung ini semula merupakan pelaman Bi’Nyanakng atau sub
kampungnya orang Nyandang. Sebelum orang Nyandang tinggal disana,
leluhur Bi’Kodatn sudah lebih dulu tinggal diwilayah tersebut. Rantau
Perapat boleh juga dikatakan sebagai benteng orang Kodatn karena
wilayahnya sangat dekat dengan Temawakng Daih dan pintu awal masuk
wilayah Bidoih Kodatn.