Kata pedofilia berasal dari bahasa Yunani: paidophilia —pais "anak-anak" dan philia
"cinta yang bersahabat" atau "persahabatan", meskipun ini arti harfiah
telah diubah terhadap daya tarik seksual di zaman modern, berdasarkan
gelar "cinta anak" atau "kekasih anak," dan sebagian besar dalam
konteks ketertarikan romantis atau seksual. Pedofilia digunakan untuk individu dengan minat seksual utama pada anak-anak prapuber yang berusia 13 atau lebih muda.
Contoh Kasus
Tujuh pembunuhan yang dilakukan oleh Babe ada polanya. Si pembunuh sadis ini selalu memilih calonnya yang berada di luar anak-anak yang dia pelihara. Dia senang dengan anak-anak yang dipeliharanya, kecuali Ardi (korban terakhir) yang berasal dari anak yang dia pelihara. Anak-anak yang dipelihara oleh Babe tidak pernah disentuh, meskipun Sarlito mengatakan bahwa Babe termasuk pedofilia atau menyukai anak-anak. Selain memiliki pola memilih di luar kelompoknya, Babe juga melakukan pola yang sama saat melakukan tindakan memutilasi tersebut. Kompulsinya dia mengikuti pola teratur. Awalnya, dia mengajak korban ke kamar mandi untuk mandi. Ketika ditolak saat diajak berhubungan seks, dia mengikat sang anak dengan tali rafia. Lalu dia melakukan hubungan seks dengan sodomi. Dia selalu menggunakan kardus untuk membuang mayat setelah dimutilasi ke tempat ramai supaya ditemukan orang dan dikubur. Pelaku adalah pedagang asongan sekaligus koordinator pengamen di Pulogadung, Jaktim. Berdasarkan hasil pemeriksaan psikologi, disimpulkan bahwa Babe mengidap pedofilia atau tertarik berhubungan seksual dengan anak kecil dan homo seksual. Selain itu Babe juga mengidap Nekrofil atau senang berhubungan seksual dengan mayat. Karena seluruh korban disodominya, setelah tewas dicekik. Babe mengakui bahwa seluruh korban, selain Ardiansyah, bukanlah anak asuhnya.
Kasus menggemparkan sebelumnya adalah kasus Tony, mantan diplomat
Australia. Boleh dikata merupakan salah satu kasus pedofilia yang
paling menggegerkan di Indonesia. Kasus Tony itu hampir menyamai
"keganasan" si Robot Gedek pada pertengahan tahun sembilan puluhan.
Hanya, kelebihan pada kasus Robot Gedek, sejumlah korban, yakni
anak-anak usia belasan tahun tewas dibunuhnya.
Melihat kenyataan hidup sehari-hari ternyata banyak anak
Indonesia yang sering diabaikan haknya demi kepentingan nista dari orang
dewasa. Pedofilia adalah salah satu contoh memilukan terabaikannya hak
anak Indonesia. Anak adalah nyawa tak berdaya yang tak mampu menolak
paksaan, deraan dan trauma dari orang dewasa. Padahal anak adalah modal
terbesar dan harapan masa depan bangsa ini. Lebih mengenaskan kasus Babe
seperti halnya kasus Robot Gedeg yang menjadi korban adalah anak
jalanan. Anak jalan dalam hal ini mempunyai nasib yang sangat tragis.
Anak normal dengan lingkungan keluarga yang lengkap dan kecukupan
harta akan tercukupi kebutuhan dan haknya sebagai anak. Anak Indonesia
yang normal ini dapat sekolah, mendapatkan sandang, papan dan pangan
dengan baik oleh orangtuanya. Kelompok anak ini juga mendapatkan
kebutuhan keamanan dan kebutuhan tekreasi yang memadai dari orangtuanya.
Sebaliknya dengan anak jalanan, alam kehidupan sosial mereka ini
tidak hanya terpinggirkan karena cengkeraman himpitan ekonomi. Kebutuhan
sandang, pangan dan papannya pun mereka kadang harus mencari sendiri.
Belum lagi, ancaman terhadap nyawa setiap saat mengintai tubuhnya tanpa
ada yang kuasa melindunginya. Anak jalanan ini mengarungi kekerasan
hidup dan pekerjaan fisik yang tidak terbayangkan dapat diterima anak
seusia.
Babe didakwa dengan pasal berlapis yakni dakwaan primer pasal 340 KUHP
tentang pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati. Dakwaan
subsider pasal 338 KUHP tentang pembunuhan yang menyebabkan hilangnya
nyawa orang lain dengan ancaman 15 tahun penjara.
Terdakwa
kasus mutilasi Babe alias Baekuni akhirnya dihukum penjara seumur hidup
oleh PN Jakarta Timur (Jaktim). Hukuman ini didasarkan pada keyakinan
hakim bahwa Babe telah melakukan pembunuhan berencana.
2. Kasus Syeh Puji
Pemberitaan tentang Syeh Puji yang menikahi bocah 12 tahun cukup
mengagetkan. Atas perilakunya itu dia dicibir oleh ibu-ibu
se-Indonesia. Kaum perempuan pun kian muak tatkala pimpinan Pondok
Pesantren di Semarang ini mengaku mau kawin lagi dengan bocah yang
berusia 6 atau 7 tahun. Tapi dia tampak cuek dengan respon
masyarakat yang rata-rata menghujatnya habis itu. Alasan agama
dipegangnya kuat-kuat.
Begitulah Indonesia, segala persoalan selalu membawa-bawa
agama. Padahal bangsa ini bukanlah negara Islam (atau agama
tertentu lainnya). Dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Tapi apa
boleh buat, dalam prakteknya selalu saja dicampur-aduk antara urusan
agama dan kenegaraan. Kalau di negara maju, sebutlah Amerika
Serikat, misalnya, Syeh Puji pasti sudah dijerat dengan UU
Pedophilia.
Penyanyi pop legendaris, Michael Jackson, sudah berkali-kali
disidang menggunakan UU tersebut terkait perilaku seksnya yang
menyimpang sebagai pedofil. Indonesia memang tidak punya UU
Pedophilia bagi warganya yang memiliki kelainan perilaku seks
seperti Michael Jackson yang sangat merugikan bagi perkembangan
anak-anak yang menjadi korbannya itu. Namun begitu bukan berarti
Syeh Puji lantas bisa menikahi anak-anak yang dia mau, apalagi
dengan iming-iming janji kepada si-anak kalau sudah besar nanti mau
dijadikan manajer di salah satu perusahaannya, maka dia telah sekaligus
melanggar tiga UU yang berlaku di Indonesia.
Yaitu UU RI No. 1/ 1974 tentang Perkawinan, UU RI No. 23/
2002 tentang Perlindungan Anak dan UU RI No. 13 tentang Ketenaga
kerjaan. Yang jelas, di Indonesia, Syeh Puji hanyalah salah satu
contoh kasus pedofil yang muncul di permukaan. Komisi Perlindungan
Anak Indonesia punya data, sepanjang tahun 2007, ada sekitar 34,7%
anak-anak Indonesia yang putus sekolah SD dan SMP karena menikah.
Namun, kalau mau belusukan ke desa-desa di seantero pelosok
negeri, pasti akan ditemukan lebih banyak fakta lagi tentang
anak-anak (di bawah usia 16 tahun) yang sudah dikawin oleh lelaki
yang sebenarnya lebih pantas disebut sebagai bapak atau bahkan
embahnya itu. Adapun faktor utama yang melatarbelakangi maraknya
kasus pedofil ini sebenarnya cuma dua. Yaitu mitos awet muda untuk
si bandot tua dan (keluarga) anak miskin yang butuh uang.
Celakanya, Indonesia justru menjadi tempat persembunyian yang nyaman
bagi para pedofil se-dunia dan itu sudah menjadi rahasia umum.