Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Rabu, 17 Oktober 2012

Jokowi Pilih tak Ambil Gaji Ketika Jabat DKI 1


Jokowi-Ahok.jpg

Pasangan Jokowi-Ahok


JAKARTA - Kebiasaan untuk tidak mengambil gaji memang selama ini sudah dilakoni Wali Kota Solo Joko Widodo yang mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI. Apakah kebiasaan tersebut juga akan diterapkan ketika memimpin Jakarta? ini kata Jokowi.

Calon Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo mengaku akan mengulangi kebiasaannya yakni tak akan mengambil gaji serta tunjangan jika nanti resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Wali Kota Surakarta (Solo) yang sebentar lagi akan berkantor di bilangan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat ini rela menghibahkan upah sebagai Gubernur DKI untuk kegiatan sosial.

"Selama masih ada yang miskin, membutuhkan ya biar dipakai yang membutuhkan," kata cagub yang diusung oleh PDI-P dan Gerindra itu, saat ditemui di di posko pemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki T Purnama (Jokowi-Ahok), di Jalan Borobudur no 22, Menteng Jakarta Pusat, Kamis (20/9/2012) malam.

Saat kembali dipastikan, Jokowi kembali menegaskan demikian. Kendati begitu, ia tak mau disalahartikan perihal kebiasaan kegiatan sosial itu oleh masyarakat terutama warga Jakarta.

"Jangan dikait-kaitkan ke hal-hal yang pribadi. Ya itu tadi jawabannya itu," kata dia.

Sebelumnya, Jokowi sempat mengakui jika dirinya selama menjabat sebagai Wali Kota Solo tidak pernah sekali pun mengambil gaji serta tunjangan yang menjadi haknya. Hal itu terungkap dari Domu D Ambarita, salah satu tim penulis buku Jokowi, Spirit Bantaran Kali.

Gaji seorang Wali Kota Solo sendiri diketahui sebesar Rp 7.250.500 serta tunjangan yang bernilai lebih dari Rp 22 juta. Berdasarkan wawancara yang dilakukan Domu, Jokowi tidak mengambil gajinya, tetapi Dia mengonversi gaji tersebut dengan uang pecahan 10.000 hingga 50.000. Uang tersebut kemudian dibagikan kepada warga yang benar-benar miskin.

Dari mana Jokowi menafkahi istrinya?

Jokowi pernah mengungkapkan jika ia dan istrinya memiliki pendapatan dari usaha lain, seperti memiliki bisnis mebel rumah dan taman serta tekstil sebelum menjadi Wali Kota Solo.

Berbekal itulah Jokowi merasa masih cukup terpenuhi kebutuhannya. Ditambah lagi, usaha tersebut masih dilakoninya setelah terpilih menjadi orang nomor wahid di Solo. (*)

Jokowi Belum Pilih Mobdin dan Rumah Dinas



Jokowi.jpg

Cagub (Calon Gubernur) DKI Jakarta, Jokowi tiba di kediaman Megawati Soekarnoputri di Kebagusan, Jakarta Selatan. Jokowi datang untuk menemani Megawati melakukan pencoblosan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah).


JAKARTA - Meskipun segera menduduki posisi sebagai orang nomor satu di Jakarta periode 2012-2017. Rupanya hingga kini Jokowi belum memutuskan akan menggunakan rumah dinas dan mobil dinas yang mana yang akan dipergunakan selama betugas.

Sedianya, sudah ada empat rumah dinas yang telah disiapkan yakni di Jalan Taman Suropati nomor 7, yang sebelumnya menjadi tempat tinggal dari mantan Gubernur DKI Fauzi Bowo. Kemudian yang terletak di Jalan Denpasar, yang sebelumnya ini ditempati oleh mantan Wakil Gubernur DKI Prijanto.

Sedangkan satu rumah lainnya berada di Jalan Besakih yang ditempati oleh Sekda DKI Fadjar Panjaitan. Dan satu rumah lainnya terletak di Jalan Satrio.

Sekretaris Fraksi PDIP DPRD DKI, Dwi Rio Sambodo, menuturkan hingga saat ini pihaknya belum mendapatkan informasi akurat apakah Jokowi sudah menempati rumah dinas atau belum, dan akan menempati rumah dinas yang mana.

"Selama ini kalau di Jakarta kan menginap di tempat keluarga atau kerabatnya. Kalau rumah permanen di Jakarta, Jokowi memang belum punya. Jadi belum ada informasi memakai rumah dinas yang mana, mobil dinas (yang akan digunakan) juga belum diputuskan oleh beliau," ujar Rio, Jumat (12/10/2012) di gedung DPRD DKI.

Rio memprediksi usai pelantikan nanti mungkin ada statement dari Jokowi mengenai mobil dan rumah dinas. "Mungkin itu juga akan disampaikan sebagai surprise. Jadwal keliling usai pelantikan juga belum keluar. Yang pasti menemui warga," pungkasnya. (*)

Belajar Merakyat dari Jokowi-Ahok



jokowi-keliling-kampung.jpg
NET
Jokowi keliling kampung


Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, yang lebih populer dengan sebutan Jokowi- Ahok, resmi menjabat Gubernur DKI Jakarta 2012-2017 seusai dilantik dan diambil sumpah oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Gedung DPRD DKI, Senin (15/10/2012).

Pasangan yang pada pemilukada lalu hanya diusung oleh dua partai, PDIP dan Gerindra, ini selanjutnya akan menjalani hari- hari sibuk sebagai pemimpin di ibu kota negara yang sarat dengan persoalan-persoalan tak terselesaikan.

Kiprah Jokowi-Ahok dalam memimpin dan membentuk Jakarta Baru selama 100 hari pertama akan menjadi perhatian banyak orang, bukan hanya yang ada di Jakarta, namun juga oleh kita yang ada di Kalbar.

Selain kisah kemenangan fenomenal yang mengiringi pasangan ini, keberadaan Jakarta sebagai ibu kota negara juga menjadi daya tarik tersendiri. Mampukah Jokowi yang sebelumnya menjabat Wali Kota Solo, dan Ahok yang sebelumnya menjabat Bupati Belitung Timur, menjadikan Jakarta kota yang aman dan nyaman, terbebas dari polusi, macet, kekumuhan, dan banjir?

Sisi lain dari pasangan Jokowi-Ahok yang bisa menjadi cerminan bagi kita, dan juga para pemimpin di Kalbar ini, adalah kebersahajaan yang mereka tunjukkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Mereka tak mau terlalu terikat oleh aturan protokoler, sehingga bisa lebih dekat dengan rakyatnya.

Jokowi, misalnya, tak sungkan-sungkan mendatangi warung tegal di permukiman kumuh untuk sekadar makan bersama dan mendengarkan apa keinginan rakyat. Mungkin hanya sentuhan kecil, namun hal itu sungguh melekat di hati. Rakyat pun merasa ada sosok pemimpin yang dekat dan memperhatikan, minimal mau mendengarkan keluhan-keluhannya.

Kita berharap, para pemimpin kita di Kalbar memiliki kebersahajaan seperti Jokowi-Ahok. Ada satu pasangan gubernur dan wakil gubernur, ada dua pasangan wali kota dan wakil wali kota, serta ada 12 pasangan bupati dan wakil bupati yang kita harapkan menjadi pemimpin yang benar-benar bisa mencintai (dan tentu juga dicintai) rakyat, yang mau duduk lesehan makan seadanya sembari membahas persoalan- persoalan keseharian, dan merumuskan jalan keluarnya secara bersama-sama.

Mungkin tidak perlu "sedramatis" itu, tapi selayaknya mereka tidak jadi pemimpin yang hanya bertapa di kantor ber-AC, yang wajahnya cuma dikenali oleh rakyat melalui foto di koran atau siaran TV.

Jika kita menengok ke belakang, ada cerita tentang seorang pemimpin di tanah Arab, Khalifah Umar bin Khattab, yang kerap menyamar jadi seseorang biasa untuk berbicara langsung dengan rakyatnya yang jelata sekalipun. Suatu hari, ia mampir di sebuah pondok buruk yang didiami oleh seorang nenek tua. Ia lalu menanyakan tanggapan sang nenek tentang kepemimpinannya.

"Semoga Allah tidak memberi ganjaran baik kepadanya," ujar sang nenek, yang kemudian melanjutkan, "Ia sangat jauh dari rakyatnya. Semenjak menjadi khalifah, dia belum pernah menjenguk pondokku ini. Tidak mungkin seorang khalifah tidak mengetahui keadaan rakyatnya walau di mana mereka berada."

Cerita tentang Khalifah Umar bin Khattab yang kerap menyamar menjadi rakyat biasa mungkin tidak relevan lagi di masa kekinian. Seorang pemimpin tak perlu lagi menyamar untuk mengetahui apa yang ada di benak rakyat tentang dirinya.

Pada sisi lain, rakyat pun sudah tak sungkan lagi menyampaikan pendapat dan penilaiannya. Bahkan, juga tak ragu untuk menurunkan sang pemimpin yang tak memberi kehidupan yang sejahtera. (****)