Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Kamis, 09 Agustus 2012

Pertegas Ihwal Mundur Anggota TNI dan Polri yang Maju Pemilukada

Jakarta – Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) sudah memperbaiki permohonan uji materi (judicial review) atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, khususnya Pasal 59 ayat (5) huruf (g).
Seperti dikutip dari website Mahkamah Konstitusi, kuasa hukum IHSC M Zainal Umam menyampaikan perbaikan permohonan menyangkut kedudukan hukum pemohon (legal standing).
“Pada persidangan terdahulu, sebagaimana disarankan oleh panel hakim antara lain mengenai legal standing Pemohon dalam hal ini IHCS. Di legal standing ini kita memasukkan kerugian-kerugian konstitusional secara lebih konkret berdasarkan permohonan yang kemarin,” kata Zainal Umam.
Ketentuan mengenai pernyataan pengunduran anggota TNI dan Polri dalam pencalonan pemilukada yang  tertuang dalam Pasal 59 Ayat (5) huruf g Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), itu merupakan sidang kali kedua untuk perkara 67/PUU-X/2012.
Di hadapan panel hakim konstitusi Achmad Sodiki (ketua panel), Moh Mahfud MD, dan Muhammad Alim, Zainal mempertajam alasan uji materi UU Pemda yang diajukan kliennya. Panel hakim juga mengesahkan alat bukti pemohon. Pemohon mengajukan alat buki P-1 sampai P-14.
Seperti diketahui, pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda menyatakan, “Partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan: (g) surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
Menurut IHCS, pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28J ayat (2) dan Pasal 30 UUD1945.
Ketentuan tersebut melegitimasi dan memperbolehkan anggota TNI/POLRI untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan terlebih dahulu menyertakan surat pengunduran diri dari jabatannya. Hal ini bertentangan dengan larangan yang secara tegas dinyatakan dalam UU TNI dan UU Kepolisian RI.
Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda berpotensi multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum sepanjang frasa “surat pernyataan mengundurkan diri” tidak dimaknai dengan harus adanya surat keputusan “telah mengundurkan diri dari instansi dan telah disetujui oleh instansi yang berwenang” sebagai salah satu persyaratan untuk maju sebagai bakal calon kepala daerah yang berasal dari anggota TNI dan Polri dengan kata lain telah berhenti dari keanggotaan TNI atau Polri.
Dengan demikian, frasa “surat pernyataan mengundurkan diri” tersebut bertentangan dengan Pasal 30 UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai dengan adanya surat keputusan non aktif dari jabatan struktural dan jabatan fungsional Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Model kekaryaan

Seperti ditulis Kompas, praktik yang sering terjadi di lapangan, sejumlah calon kepala daerah (dari unsur TNI/ Polri) memang mengajukan surat pengunduran diri. Namun, begitu gagal dalam pemilihan, mereka kembali ke jabatannya semula (4/7).
“Seharusnya kan tidak hanya surat pengunduran diri, tetapi surat penonaktifan dari atasannya. Ketentuan ini sering ditafsirkan secara berbeda-beda sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum,” ungkap Gunawan mewakili IHCS.
Di satu daerah, lanjutnya, anggota TNI/Polri bisa mendaftar sebagai calon kepala daerah hanya dengan menunjukkan surat pengunduran diri, tetapi di daerah lain mensyaratkan surat penonaktifan.
Ketentuan tersebut juga tidak sejalan dengan reformasi sektor keamanan khususnya reformasi TNI dan Polri yang ditandai dengan hilangnya fungsi sosial politik dan kekaryaan.
“Anggota TNI, Polri, dan pegawai negeri sipil (PNS) dilarang berpolitik dalam rangka melindungi tanah air dan memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat,” tegas Gunawan saat mendaftarkan gugatan.
Masalah krusial adalah saat mereka mendaftarkan diri ke KPU tapi tanpa hitam di atas putih keabsahan mundur, tidak bisa dibenarkan. Pembenaran menurutnya melanggar hukum
“Kalau sewaktu mendaftar masih dalam posisi anggota TNI/Polri aktif (karena belum ada surat penonaktifan dari atasannya), itu jelas melanggar sistem demokrasi yang diatur berdasarkan hukum. Itu mirip dengan model kekaryaan zaman dahulu, anggota TNI/Polri ditugaskan disipilkan,” kata Gunawan. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar