Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Jumat, 02 Maret 2012

Anak di Luar Nikah

Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa mengakui putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan uji materi Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sangat baik ditinjau dari sisi kemanusiaan dan administrasi negara. Akan tetapi niat baik ini bisa jadi justru menjerumuskan pada akhirnya.
Sebelum diuji materi, pasal 43 ayat 1 UU 1/1974 menyebutkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Sementara setelah diuji materi menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan, untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya.
Argumentasi yang melandasi keputusan ini, antara lain setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu. Khofifah juga berpendapat, anak yang dilahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah, menurut jumhur (pendapat umum) ulama tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya. Konsekuensinya, anak yang lahir di luar perkawinan, tidak memiliki hak waris dan perwalian dari ayah biologisnya. Kalau si anak hasil hubungan di luar nikah ini menikah dan bapak biologisnya menjadi wali, maka tidak sah pernikahannya.
Sebagaimana Khofifah, salah seorang tokoh agama Kalbar, H Miftah SHI, secara pribadi juga tidak setuju dengan putusan MK tersebut. Alasannya karena hal itu bisa memicu lebih banyak angka kelahiran di luar nikah.
Kenapa anak di luar nikah tak dapat waris dari ayah biologisnya menurut hukum Islam, salah satu dasarnya adalah pertama, anak hasil zina (anak di luar nikah) tidak dinasabkan ke bapak biologis. Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi bapaknya (Al Mughni: 9:123).
Lantas kepada siapa dia di-bin-kan? Mengingat anak ini tidak punya bapak yang “legal”, maka dia di-bin-kan ke ibunya. Sebagaimana Nabi Isa ‘alaihis salam, yang dengan kuasa Allah, dia diciptakan tanpa ayah. Karena beliau tidak memiliki bapak, maka beliau di-bin-kan kepada ibunya, sebagaimana dalam banyak ayat Alquran, Allah menyebut beliau dengan Isa bin Maryam.
Kedua, tidak ada hubungan saling mewarisi. Tidak ada hubungan saling mewarisi antara bapak biologis dengan anak hasil zina. Karena sebagaimana ditegaskan sebelumnya, bapak biologis bukan bapaknya. Memaksakan diri untuk meminta warisan, statusnya merampas harta yang bukan haknya. Bahkan hal ini telah ditegaskan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis, di antaranya: “Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka TIDAK dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya…” (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).
Jika bapak biologis ingin memberikan bagian hartanya kepada anak biologisnya, ini bisa dilakukan melalui wasiat. Si bapak bisa menuliskan wasiat, bahwa si A (anak biologisnya) diberi jatah sekian dari total hartanya setelah si bapak meninggal. Karena wasiat boleh diberikan kepada selain ahli waris.
Ketiga, siapakah wali nikahnya? Tidak ada wali nikah, kecuali dari jalur laki-laki. Anak perempuan dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak. Bapak biologis bukanlah bapaknya. Dengan demikian, dia memiliki hubungan kekeluargaan dari pihak bapak biologis. Bapak biologis, kakek, maupun paman dari bapak biologis, tidak berhak menjadi wali. Karena mereka bukan paman maupun kakeknya. Lalu siapakah wali nikahnya? Orang yang mungkin bisa menjadi wali nikahnya adalah pertama, anak laki-laki ke bawah, jika dia janda yang sudah memiliki anak. Kedua, hakim (pejabat resmi KUA).
Nabi Muhammad SAW menyatakan tentang anak zina, “Untuk keluarga ibunya yang masih ada, baik dia wanita merdeka maupun budak.” (HR. Abu Dawud)
Dalam riwayat yang lain, dari Ibnu Abbas, dinyatakan, “Siapa yang mengklaim anak dari hasil di luar nikah yang sah, maka dia tidak mewarisi anak biologis dan tidak mendapatkan warisan darinya.” (HR Abu Dawud)
Dalil lainnya adalah hadis dari Aisyah radhiallahu ’anha, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.”
Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya lelaki ini disebut “pemilik firays”. Selama sang wanita menjadi firasy lelaki, maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil yang dilakukan istri selingkuh laki-laki lain. Sedangkan laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikit pun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain.” (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10:37) *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar