Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Jumat, 02 Maret 2012

Hapus Stigma Anak Haram

Pontianak – Sangat tak manusiawi jika anak yang dilahirkan di luar nikah disebut anak haram. Putusan uji material Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan setidaknya telah menghapus kesan itu.
“Orang tua harus bertanggung jawab supaya anak tidak menjadi korban. Jangan sampai anak ditinggalkan dan dititipkan di panti asuhan,” kata Drs H Andi Ja’far Harun MSi, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Pontianak kepada Equator, Selasa (28/2) di ruang kerjanya.
Sudah sering terjadi anak dilahirkan tanpa diketahui siapa ayah biologisnya. Ibu kandung yang menanggungnya. Tetapi ada yang tak kuat menghadapinya hingga melakukan aborsi akibat hubungan terlarang sebelum pernikahan.
Putusan MK memang di satu sisi sering mendapat hujatan karena dianggap menyuburkan praktik perzinaan atau kumpul kebo. Tetapi di sisi lain memberikan aspek perlindungan bagi anak sekaligus menyadarkan si ayah biologis untuk bertanggung jawab. Sebab pada hakikatnya, anak yang baru lahir ibarat kertas putih. Orang tualah yang menulisnya.
“Anak yang dilahirkan masih dalam keadaan fitrah. Oleh karena itu, dia tidak seharusnya menanggung beban apa yang sudah dilakukan orang tuanya,” kata Andi Ja’far.
Menurut dia, putusan MK kontradiktif dengan UU Nomor 43/1974. UU itu sudah jelas, anak yang dilahirkan tanpa bapak nasabnya kembali kepada ibu. Tetapi analisis putusan MK bertujuan untuk perlindungan anak. “Kalau anak terlahir tanpa orang tua yang lengkap akan berpengaruh pada perkembangan si anak. Seorang anak akan merasa bangga kalau ada orang tuanya,” papar Andi Ja’far.
Dalam hal ini, kata dia, peran agama sangat penting yang sangat melarang untuk berbuat zina. Mendekatinya saja dilarang karena perbuatan tersebut akan berdampak fatal dan anak yang tidak tahu apa-apa akan menanggung perbuatan orang tuanya.
“Saya mengimbau kepada orang tua untuk memerhatikan pergaulan anaknya masing-masing agar tidak terjerumus pada pergaulan bebas. Salah satu faktor anak lahir di luar nikah akibat dari pergaulan bebas,” tuturnya seraya mengajak untuk menyelamatkan generasi muda.
Andi Ja’far memaparkan tiga kategori anak menurut Alquran. Pertama, anak sebagai perhiasan. Anak seperti inilah yang semua diidamkan oleh orang tua. Kedua, anak sebagai fitnah (cobaan) sehingga orang tua harus memberikan perhatian lebih. Ketiga, anak sebagai musuh, seperti inilah yang harus dihindarkan.
Dalam hal administrasi, anak di luar nikah tidak sah untuk diterbitkan akta kelahirannya. “Maka dia itu hanya anak ibu bukan anak suami istri. Karena orang tuanya tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan UU,” kata Drs Hermundi, Kepala Bidang Catatan Sipil Kota Pontianak.
Masalah hak, kata dia, anak itu hanya memiliki keperdataan ibunya. “Nah, anak luar nikah maupun anak resmi tidak masalah dalam membuat KTP,” ujarnya.
Hermundi menuturkan anak luar nikah sulit itu mendapatkan perlindungan dari hukum, karena status mereka tidak jelas. “Kepada orang tua harus segera memproses anaknya untuk mendapatkan hak-hak sipil dan memperoleh kepastian hukum,” katanya.

Nikah siri

Anggota Komisi A DPRD Kota Pontianak Syarifah Yuliana menganggap UU No 1 Tahun 1974 sudah menjamin harkat dan martabat wanita. Konsekuensi logis harus diterima wanita yang menikah siri atau tidak tercatat. Anak yang dilahirkan dari pasangan menikah siri tidak bisa mencantumkan nama ayahnya di akta kelahiran.
Sejak diberlakukan UU ini, maka segala bentuk perkawinan siri tidak diakui secara UU. “Jadi dari segi hukumnya sudah jelas. Seharusnya masyarakat, khususnya kaum wanita harus mendukung peraturan ini,” ujarnya.
Terhadap keputusan MK yang membatalkan pasal 43 ayat 1 UU No 1 tahun 1974, Syarifah menjelaskan, status anak yang dulunya hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, sudah bisa bernapas lega. “Dengan demikian bisa mengajukan tuntutan di pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah secara biologisnya,” ujarnya.
Tetapi dari sisi lain, dengan dibatalkannya pasal 43 itu akan marak terjadi pernikahan siri. “Masyarakat tidak perlu lagi membutuhkan lembaga resmi seperti KUA (Kantor Urusan Agama) untuk mencatatkan pernikahannya. Dampak yang sangat tidak diinginkan adalah marak hubungan nikah yang dibungkus dengan perkawinan siri,” ujarnya.
Syarifah mengimbau agar kaum wanita jangan mau dinikahi secara siri. Sebab dapat merugikan pihak perempuan. “Hal ini harus dibarengi penyuluhan dan pembinaan dari instansi terkait sehingga masyarakat menyadari pentingnya menikah secara tercatat menurut undang-undang,” ungkapnya. (hak/kie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar