Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Sabtu, 28 April 2012

Alokasi Anggaran Belum Sesuai Prioritas

SILPA 2011 Capai Rp 200 Miliar

Pontianak – Pansus DPRD menilai Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Gubernur tahun 2011 terjadi ketidaksesuaian antara arah prioritas daerah dengan alokasi belanja. Karena itu Dewan mempertanyakan kebijakan pengelolaan keuangan tersebut.
“Apakah alokasi tersebut proporsional dengan prioritas daerah? Kami berpendapat belum ideal karena belanja terbesar pada Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian, dan persandian, sebagian besar justru habis untuk belanja tidak langsung, hingga lebih dari Rp 650 miliar,” kata H Fatahillah Abrar SAg, Ketua Pansus DPRD Kalbar, Kamis (26/4).
Idealnya, besaran alokasi belanja diarahkan secara proporsional kepada lima prioritas. Yakni mendorong peningkatan atau percepatan pertumbuhan ekonomi, mempercepat pengurangan pengangguran dan kemiskinan, menjaga stabilitas ekonomi, dan memperkecil kesenjangan atau disparitas pembangunan antarwilayah.
Ketidaksesuaian itu mendorong pansus untuk mempertanyakan beberapa hal terhadap kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah ini. Rendahnya peringkat IPM Kalbar secara regional dan nasional, kata dia, yang terutama disebabkan oleh rendahnya capaian di bidang pendidikan dan kesehatan.
“Terasa aneh menemukan kenyataan bahwa alokasi belanja untuk Dispenda (sekitar Rp 79,5 miliar) lebih besar dibanding untuk Dinas Pendidikan (sekitar Rp 72,8 miliar). Kami berharap eksekutif memberikan penjelasan terhadap masalah ini, yang sebenarnya juga sudah menjadi temuan Pansus pada LKPj 2010 lalu,” ujar Fatahillah.
Dia mengatakan berbeda dengan LKPj tahun sebelumnya, pada Bab 3 LKPj tentang Kebijakan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah, tidak secara jelas diuraikan berapa besarnya Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) 2011.
Namun setelah memerhatikan penjelasan eksekutif pada halaman 58, kata Fatahillah, besaran SILPA dapat dihitung dengan mengurangkan realisasi pendapatan (Rp 2.202.217.036.906,31) dengan realisasi belanja (Rp 1.996.323.545.772,70).
Hasil pengurangan tersebut menunjukkan bahwa SILPA tahun 2011 lebih dari Rp 200 miliar. Besaran SILPA ini justru mengalami kenaikan dari SILPA tahun 2010 yang hanya sekitar Rp 175 miliar.
Sepintas, Fatahillah melihat SILPA sepertinya membantu mengatasi defisit. Ternyata sesungguhnya besaran SILPA menggambarkan ketidakmampuan pemprov menyerap anggaran.
“Ini bisa terjadi karena kesalahan perencanaan dan atau karena kelambanan dalam pelaksanaan program. Secara teoretis, sistem anggaran defisit diadopsi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan belanja pemerintah,” ungkapnya.
Fatahillah menjelaskan, apabila SILPA terlalu besar maka anggaran defisit menjadi tidak berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi, atau malah akan mengganggu pertumbuhan ekonomi. “Barangkali inilah salah satu sebab mengapa pertumbuhan ekonomi kita selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional,” jelasnya.
Pansus menduga salah satu penyebab besarnya SILPA adalah lambannya realisasi anggaran oleh eksekutif yang mengakibatkan daya serap anggaran relatif rendah. Bukan hanya berdampak pada membesarnya SILPA, keterlambatan realisasi anggaran juga akan berdampak pada kualitas pelaksanaan program. Program yang dilaksanakan secara terburu-buru atau tidak tepat waktu cenderung tidak berkualitas.
Pelaksanaan Kebijakan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah tahun 2011 tetap menyisakan pertanyaan untuk catatan. Pansus, kata Fatahillah, mempertanyakan mengapa realisasi dari Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan sangat rendah, masing-masing hanya 57,53 persen dan 24,56 persen.
Di sisi lain, lanjutnya, mengapa pada lain-lain PAD realisasi penerimaan dari Akper Singkawang dan SPP SPMA Singkawang jauh lebih tinggi dari targetnya. Apakah karena sengaja menetapkan target yang terlalu rendah atau karena terjadi sesuatu yang di luar perkiraan Dispenda.
“Mengapa realisasi pendapatan dari pajak daerah melebihi target terlampau jauh, yaitu lebih dari Rp 100 miliar. Meskipun hal ini menggembirakan, namun tetap penting untuk diketahui. Apakah hal itu disebabkan kesalahan perkiraan yang tidak disengaja atau sebaliknya. Mengapa tetap saja tidak diperoleh kontribusi dari PD Aneka Usaha, padahal penyertaan modal pemerintah provinsi relatif besar, yaitu lebih dari Rp 5 miliar,” papar Fatahillah.
Sebaliknya, dia menyatakan, mengapa pada PT Asuransi Bangun Askrida yang menerima penyertaan modal pemprov hanya Rp 1,71 miliar, pada tahun 2011 menyetorkan bagian laba ke kas daerah sebesar Rp 460,8 juta. Pertanyaannya, mengapa perusahaan ini mampu menyetor besar (lebih dari 25 persen penyertaan modal Pemprov).
“Apakah betul setoran tersebut berasal dari bagian laba perusahaan? Jika tidak, hal ini dapat berpotensi menjadi temuan dalam pemeriksaan BPK,” Fatahillah mengingatkan.
Perbedaan besar, tambahnya, juga terjadi pada penerimaan dari iuran eksploitasi/royalty. Di mana ditargetkan hanya Rp 4.457.980.300 akan tetapi terealisasi sebesar Rp 18.598.463.068. “Mengapa perbedaan besar tersebut terjadi, sebaiknya diberikan penjelasan terhadap hal ini,” tuntas Fatahillah. (jul)

Lima Alokasi Belanja Terbesar 2011:

  • Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, kepegawaian, dan persandian (sekitar Rp 888,16 miliar).
  • Pekerjaan Umum (sekitar Rp 370 miliar)
  • Kesehatan (sekitar Rp 232 miliar)
  • Pertanian (sekitar Rp 73,5 miliar)
  • Pendidikan (sekitar Rp 72,8 miliar)
Sumber: Pansus LKPj

Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar