Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Jumat, 13 Juli 2012

Incumbent di Antara Politik Identitas

Ketika berbicara politik di Kalimantan Barat, tidak bisa begitu saja menepiskan isu politik aliran. Karena primordialisme maupun panutan masih kental di akar rumput kita. Dan tentu saja, tiga pilar utama yang cukup dominan di antara banyak suku di provinsi ini adalah Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Ketiga pilar inilah memainkan peranan penting mulai dari gerak sosial, budaya, maupun ekonomi.
Secara politis, eksistensi tiga etnik besar tersebut berdampak jelas pada peta kekuatan kandidat dalam pemilihan kepala daerah 2012 di Bumi Khatulistiwa itu. Berdampingannya tokoh panutan Dayak dan Tionghoa pada pilgub 2007 mengubah paradigma lama bahwa Kalbar ini selalu dipasangkan Dayak dan Melayu ketika gubernur dan wakil dipilih oleh DPRD. Karena memang dua etnis tersebut sebagai yang terbesar.
Fenomena pun bergeser, ketika demokratisasi makin mengemuka dengan rakyat memilih pemimpinnya secara langsung. Terlepas dari berbagai kecurigaan adanya penggelembungan suara, penukaran kotak suara, hingga pencoblosan sebelum waktunya, pasangan kombinasi Dayak-Tionghoa: Cornelis-Christiandy Sanjaya mengungguli tiga pasangan lainnya yakni Akil Mukhtar dan AR Mercer (Melayu-Dayak), incumbent Usman Djafar-LH Kadir (Melayu-Dayak), serta Oesman Sapta Odang-Ignasius Lyiong (Melayu-Dayak). Bahkan Cornelis-Christiandy meraup 43,67 persen dalam satu putaran.
Selain figurnya beragam seperti pengusaha, birokrat, pendidik, politisi, hingga pegawai negeri, warna-warni pelangi pun muncul. Persamaan lain dari ketiga pasangan itu adalah perpaduan antara calon dengan latar belakang Islam dan Kristen/Katolik. Namun yang menarik adalah pasangan Cornelis dan Christiandy sebagai perpaduan yang berbeda dan baru dari ketiga calon yang ada. Keduanya beragama Kristen dan keduanya bukan berasal dari suku Melayu. Perpaduan itu justru yang akhirnya memenangkan Pemilukada Kalbar 2007 lalu.
Banyak analis menyebutkan perpaduan Cornelis-Christiandy Sanjaya yang berasal dari Dayak-Tionghoa dan sama-sama Kristen justru menguntungkan. Menguntungkan karena tiga pasangan lain harus bertarung di wilayah-wilayah yang menjadi basis dari pemilih Islam dan Melayu. Sementara pasangan Cornelis-Christiandy Sanjaya melenggang sendirian di wilayah yang menjadi basis pemilih Kristen.
Analisis ini didasarkan pada fakta kemenangan mutlak Cornelis-Christiandy Sanjaya di lima kabupaten yakni Landak, Sanggau, Sintang, Kota Singkawang, dan Bengkayang. Kabupaten itu dengan mayoritas penduduk Kristen. Sementara di wilayah-wilayah dengan penduduk mayoritas Islam, suara untuk tiga pasangan terpecah.
Kenyataan itu menunjukkan politik identitas masih sangat kental. Dan juga menunjukkan bahwa dalam skala politik lokal, kesadaran dari tiap-tiap etnik untuk memunculkan eksistensinya masih kental. Artinya, asal-usul calon kepala daerah juga menjadi pertimbangan penting bagi pemilih. Di kalangan etnik Tionghoa juga muncul kesadaran eksistensi etnik. Pada Pilwako Singkawang 2007 lalu, yang sebagian besar penduduknya adalah Tionghoa, terpilih walikota dari etnik itu.
Pada pilgub 2012, ada empat bakal calon yang sudah mendaftar ke KPU. Pertama pasangan incumbent masih satu paket dengan wakilnya pada pilgub 2007 lalu, kemudian Morkes Effendi-Burhanuddin A Rasyid (Melayu/Islam), Abang Tambul Husin-Barnabas Simin (Melayu/Islam-Dayak/Kristen), dan pasangan Armyn Angkasa Alianyang-Fathan A Rasyid (Dayak/Islam-Melayu/Islam).
Perpaduan ini tidak jauh berbeda dengan pilgub 2007 lalu. Jika incumbent masih bisa bertahan, asal susul kepala daerah tidak terelakkan menjadi peranan penting dalam kemenangan pesta demokrasi rakyat lima tahun sekali ini. Tapi yang jelas, kita tunggu saja hasilnya di bilik suara pada 20 September mendatang. Apakah muncul fenomena baru antara incumbent dan nonincumbent, atau mengulangi 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar