Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Rabu, 25 Januari 2012

Pers Kontrol Pemerintah Bukan Sebaliknya

PONTIANAK. Kebebasan pers merupakan kebebasan yang bertanggungjawab yang bermuara pada kepentingan publik. Oleh karenanya, pers yang mengontrol pemerintah, bukan sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan UU 40/1999 tentang pers.

“Pemerintah tidak berwenang mengintervensi penyelenggaraan pers,” kata Sabam Leo Batubara, Wakil Ketua Dewan Pers ketika Sosialisasi Peraturan-Peraturan Dewan Pers di Hotel Orcardz Pontianak, kemarin (17/2).

Sosialisasi yang diikuti praktisi media massa di Kalbar tersebut disampaikan tiga Anggota Dewan Pers, selain Sabam Leo Batubara yang merupakan Wakil Ketua Dewan Pers periode 2007-2010, juga hadir Anggotanya Bekti Nugroho dan Wirna Armada Sukardi.

Sebelum menyampaikan berbagai hal mengenai landasan yang melindungi kerja pers, juga disampaikan mengenai kriteria dan syarat pers yang sebenarnya bukan pers yang tidak bertanggungjawab atau kalau meminjam istilah Leo Batubara, bukan pers abal-abal.

Leo menjelaskan, UU 40/1999 melindungi kemerdekaan pers. Berarti pers bebas dari berbagai jenis kendali pihak lain. Di antaranya, bebas dari alat kendali perizinan, sensor dan pembredelan.

Selain itu, pers bebas dari alat kendali Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen), politik hukum negara yang mengkriminalisasi pers.

Kemudian, pers juga bebas dari kendali KHUPerdata yang ancaman dendanya dapat membangkrutkan pers dan bebas dari kebijakan negara yang membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi.

Pers juga bebas dari ancaman tindakan kekerasan yang dilakukan aparat negara dan massa. “Selama sembilan tahun ini, pers dan wartawan mengalami kekerasan tanpa pelakunya dikenakan penegakan hukum,” ungkap Leo.

Dia menambahkan, pers juga bebas dari amplop dan sogokan yang disediakan penguasa negara, penguasa politik dan penguasa harta–kalangan yang semestinya dikontrol oleh pres.

“Pers juga bebas dari pengoperasian/mempekerjakan (employing) orang-orang pers yang sama sekali tidak memenuhi standar kompetensi keprofesionalan,” tegas Leo.

Penerbitan pers, kata Leo, tidak memerlukan izin penerbitan, bebas dari sensor dan pembredelan. “Kesalahan dalam karya jurnalistik diselesaikan dengan Hak Jawab, bila belum memuaskan diproses menggunakan UU Pers pasal 18 ayat (1) dan (2) dapat dipidana dengan paling banyak Rp 500 juta,” terangnya.

Yang dimaksudkan karya jurnalistik tentunya sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yakni independen, akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk.

Selanjutnya, menempuh cara profesional, menguji informasi, berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asa praduga tidak bersalah.

Selain itu, tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul. Tidak menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Memiliki hak tolak. Tidak menyiarkan berita prasangka atau diskriminasi. Menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai permintaan maaf serta melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Leo juga menjelaskan, yang disebut non karya jurnalisitk di antaranya berita untuk memeras, berintensi kebencian (malice). Apabila itu terjadi, bisa dikenakan pidana dengan pidana penjara dan denda berdasarkan KUHP atau KHUPerdata. (dik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar