Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Selasa, 20 Maret 2012

Cegah Konflik dengan "Win-win Solution"

Pontianak. Konflik Singkawang menyikapi makalah Wali Kota Singkawang Hasan Karman mesti diselesaikan dengan jalan damai, saling menguntungkan dan tidak mempermalukan kedua belah pihak (win-win solution).
“Menurut saya dapat dilakukan dengan saling meminta maaf dan maaf memaafkan. Mengkaji kembali keberadaan dan relevansi sesuatu yang dipersoalkan demi kemaslahatan banyak orang,” ungkap Prof Sy Ibrahim Alkadrie, akademisi pencegah konflik ketika seminar sehari yang digelar Deputi Seswapres Bidang Politik, Sekretariat Wakil Presiden, bekerjasama dengan Untan di Rektorat Untan, Senin (7/6) lalu.
Suatu kearifan besar jika Wali Kota Singkawang mau meminta maaf secara pribadi kepada kelompok masyarakat yang merasa tersinggung atau disakiti atas makalahnya. Sebagai orang beragama, mereka yang merasa disakiti mesti memaafkan. “Meminta maaf dan memaafkan adalah karya terbesar dan perbuatan mulia bagi mereka yang beriman,” ujarnya.
Secara akademis, Hasan Karman tidak perlu mengubah atau membatalkan kalimat yang dianggap bermasalah pada makalahnya. Apalagi tulisan itu hasil studi atau penelitian dan kutipan dari pendapat sarjana lain.
“Dalam tradisi keilmuan dan etika dunia akademis, tidak ada kekuatan apapun dan manapun, kecuali Allah yang dapat mengubah atau membatalkan hasil penelitian seseorang atau dapat dibatalkan melalui hasil penelitian baru dengan metode ilmiah,” bebernya.
Ibrahim mengatakan, masalah dapat diselesaikan melalui proses studi atau penelitian ilmiah untuk menguji (verify) kebenaran pernyataan di makalah Hasan Karman, hasil desertasi Doktor yang mengutip sarjana lain. Cara ini tidak saja dapat menolak atau memperkuat ide maupun penemuan Wali Kota Singkawang. Namun menjadi penemuan baru yang akan memperkaya wawasan dan ilmu pengetahuan.
Pengkajian kembali secara mendalam, manfaat keberadaan dan relevansi keberadaan penelitian bagi masyarakat banyak juga tindakan paling arif menyelesaikan kasus Singkawang akhir Mei lalu. “Ini tentu berkaitan dengan patung Naga. Peninjauan kembali patung ini mesti dilakukan dengan dua cara atau hanya salah satu saja dari dua cara itu. Melalui penelitian atau mengadakan pendapat umum masyarakat yang melibatkan masyarakat Singkawang untuk memilih salah satu dari dua opsi, apakah patung itu cocok didirikan di lokasinya semula jalan,” bebernya.
Peninjauan patung Naga mesti dilakukan melalui penelitian ilmiah. Bisa juga dilaksanakan secara resmi dan diawasi pemerintah provinsi. Tentunya alur dari penyelesaian itu berakhir dengan ada tidaknya manfaat atau mudharat bagi kepentingan masyarakat banyak. Contohnya, layak atau tidak patung tersebut ditempatkan di lokasi persis di pertengahan jalan, di dalam taman atau alun-alun kota.
“Perlu juga dikaji, apakah tidak membahayakan lalu lintas, siap tidaknya kelompok masyarakat menerimanya, sejauh mana patung di tengah kota untuk menarik wisatawan, benarkah patung itu menambah ciri khas dan keindahan Kota Singkawang serta sebagainya,” paparnya.
Dosen Fisipol Untan dengan gelar profesor tame Nordic Institute of Asian Study (NIAS), Copenhagen—Denmark ini juga menyatakan salah satu dari dua hasil penijauan apakah patung itu sesuai atau tidak pada tempatnya, mestinya dibuatkan surat keputusan mengikat agar semua pihak bisa menerimanya. Kalau basil peninjauan itu menyatakan letak patung itu tidak sesuai di tengah kota, Pemkot dan para pendirinya harus memindahkan patung itu di tempat lebih layak, misalnya di taman kota. Mendirikan tugu atau patung hendaknya atas kesepakatan dan kemaslahatan masyarakat banyak, bukan pemaksaan kehendak.
“Ini bukan hanya wujud dari multikulturalisnic, tetapi juga hasil perenungan bahwa sebuah karya, bagaimanapun indah dan agungnya, tidak boleh membuat masyarakat menjadi terganggu secara psikologis, sosiologis dan religious,” tegas Ibrahim. (ROx)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar