Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Senin, 24 September 2012

Partai Vs Figur

Meski perhitungan KPU belum final, namun hasil quick count (hitung cepat) lembaga-lembaga survei menyatakan pasangan Jokowi-Ahok keluar sebagai pemenang Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Dukungan partai-partai besar terhadap pasangan Foke-Nara ternyata mandul dan membuat Fauzi Bowo berkemas dari balai kota, siap-siap angkat koper.
Pilkada Jakarta sejatinya memang selalu menarik. Kabar, kampanye, manuver politik, atau apa pun yang berkaitan dengan kandidat yang bertarung, terus mendapat perhatian bukan hanya bagi warga ibu kota, tapi juga warga Indonesia secara umum. Pertarungan penuh prestise, lantaran Jakarta, seperti ungkapan Soekarno, sebagai miniatur Indonesia. Menjadi Gubernur Jakarta tentu akan dikenal secara luas ketimbang kepala daerah lain.
Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok, memang unik. Mengingat pasangan ini hanya diusung dua partai, PDIP dan Gerindra. Sementara hampir semua partai besar, termasuk Golkar dan PPP memilih “lari” ke Foke pada putaran kedua. Ibarat pertarungan David vs Goliath.
Sejumlah kalangan menilai kemenangan Jokowi seolah membalik logika politik. Mesin partai seolah tak berputar di hadapan sosok Jokowi. Didukung partai ternyata tak serta-merta didukung rakyat. Demikian sebaliknya, Pilkada Jakarta adalah contohnya.
Rakyat ternyata memilih figur yang menurut mereka cocok untuk membenahi semrawutnya wajah ibu kota. Mereka membutuhkan pemimpin yang merakyat, santun, dan sederhana. Pemimpin yang mau masuk ke gang-gang kecil melihat kondisi real di lapangan. Bukan yang duduk manis di balik meja, kemudian mendapat laporan “asal bapak senang”. Setuju atau tidak, sosok itu mereka temukan pada figur Jokowi. Terlebih Jokowi dianggap sukses memimpin Solo.
Pilkada kali ini juga menjadi pelajaran berharga parpol. Dalam mengusung calon harus juga memerhatikan “selera” pasar. Jangan hanya terpaku pada besarnya mahar. Harus pula mempertimbangkan track record (rekam jejak) si calon. Karena dalam pemilihan langsung penentu utama adalah rakyat. Apa yang dimau rakyat, figur seperti itulah yang diusung. Jangan sampai terjadi figur vs parpol. Karena dalam konteks pilkada, figur bisa dipastikan menang.
Pada prinsipnya semua orang sudah letih dengan janji dan rencana-rencana yang tak pernah terealisasi. Jika hanya “akan” dan “akan”, kapan lagi mau bekerja. Sementara permasalahan kian hari semakin bertambah. Kemiskinan, minimnya layanan kesehatan, air bersih, serta pengangguran harus sesegera mungkin ditangani. Itu harus dimulai dari pemimpin sendiri. Kemudian membersihkan pejabat teras dari segala “penyakit” birokrasi.
Karena itu, partai yang diisi orang yang tak disukai rakyat, siap-siap terjungkal. Meski partai besar sekalipun. Saya jadi teringat pada pilpres dulu ketika SBY menang. SBY sendiri adalah Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Ketika itu Demokrat baru seumur jagung. Toh, kenyataannya SBY bisa melenggang ke kursi RI 1 selama dua periode. Terlepas dari bagaimana kinerjanya selama memerintah. Lagi-lagi masyarakat lebih menilai figur ketimbang parpol.
Seperti Pilkada Jakarta, Kalbar juga tengah menunggu-nunggu hasil perolehan suara resmi dari KPU. Meski dengan perhitungan cepat, ada kandidat yang sudah mengklaim menang. Bagi yang kalah harus legowo. Mungkin Anda bukanlah figur yang dikehendaki rakyat. Sementara bagi yang menang jangan terlalu jemawa. Anggap ini sebagai kemenangan rakyat. Bukan kemenangan agama, suku, atau golongan tertentu. Masih banyak masalah yang menunggu untuk diselesaikan. Sebagai rakyat, kami berharap yang menang nantinya adalah yang terbaik di antara yang terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar