Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Kamis, 04 Oktober 2012

Pasal Obok-obok Kepala Daerah

MK Hapus Pasal 36 UU 32/2004

Berlindung di Balik Aturan Birokrasi

Pasal 36 UU 32/2004 jadi mesin ATM
ZMS
Pontianak – Banyak yang jengah ketika mengetahui ternyata Kalbar provinsi terkorup se-Indonesia 2005-2008. Sasaran tak nyaman ke arah eksekutif dan legislatif, dengan penegak hukum yang dicurigai lamban atau berpikir lain.
Kini tidak ada lagi alasan aparat hukum dan jajaran yudikatif umumnya, menyusul dihapuskannya pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan, pemeriksaan kepala daerah terduga korupsi tak butuh izin lagi dari presiden.
Nah, ini belum menjadi kabar baik bagi para pelaksana tipikor yang sebelumnya sering berdalih mengalami kesulitan. Kajati Kalbar Jasman Panjaitan SH MH misalnya, menegaskan perubahan UU itu menuntut para penyidik untuk bekerja profesional.
“Dalam hal ini penyidik harus betul-betul mengkaji apakah keterangan dari kepala daerah itu penting atau tidak. Jangan sampai main panggil saja. Karena kalau gubernur, bupati, walikota, atau para wakilnya memberikan keterangan saksi dalam hukum, itu akan berpengaruh terhadap rakyatnya. Kita berharap para penyidik harus lebih profesional dalam UU baru ini,” ujar Jasman kepada Rakyat Kalbar, di ruangan kantornya, Senin (1/9).
Namun Jasman sangat setuju dengan perubahan peraturan dalam UU ini. Sebab dalih dengan izin presiden pada tahap penyelidikan dan penyidikan sangat berpotensi menghambat proses hukum.
“Karena dalam pasal tersebut secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan. Pada dasarnya kita setuju, sambil mempelajari dan menunggu petunjuk dari pimpinan,” kata Jasman.
Memang, lanjutnya, perubahan ini mempermudah proses penyidik untuk menyidik kasus dugaan korupsi pejabat kepala daerah. Tetapi jangan sampai para penyidik begitu mudahnya untuk memanggil kepala daerah atau wakil kepala daerah.
“Lihat dulu apakah dia itu sudah tersangka ataupun belum. Lebih bagusnya, boleh memanggil gubernur, bupati, dan wakil bupati asalkan dia itu sudah tersangka. Biarpun tidak perlu surat izin dari presiden, jangan semena-mena memanggil mereka. Tetapi harus melalui proses,” tutur Kajati.
Kajati berharap para penyidik jangan sampai menyalahgunakan peraturan untuk mengobok-obok kepala daerah. Karena sangat mengganggu kinerja pemerintah. “Kita di kajati tetap melakukan pengendali. Supaya tidak terlalu mudah menggunakan pasal ini,” ungkapnya.

Lebih efektif

Tak lagi perlu izin presiden untuk memeriksa kepala daerah terduga kasus korupsi dianggap Kepolisian Daerah Kalbar sebagai hilangnya salah satu hambatan.
“Kami merespons dengan baik putusan MK tersebut. Beberapa kasus yang melibatkan kepala daerah terhambat, kini langsung bisa dikerjakan. Uji materi ini juga mungkin berangkat dari keluhan penyidik, mereka mengeluh soal pasal yang menghambat kinerjanya,” tutur Kapolda Brigjen Unggung Cahyono melalui Kabid Humas Polda Kalbar AKBP Mukson Munandar, Senin (1/10).
Sebenarnya, jika dalam 60 hari presiden tidak memberikan izin, bisa saja dilakukan pemeriksaan. Kejaksaan tidak menggunakan dasar hukum tersebut, dengan alasan masih ada celah bagi para terdakwa jika jaksa tetap memaksakan pemeriksaan. “Dengan adanya putusan itu, bisa cepat menindak kasus korupsi tanpa izin presiden,” katanya.
Hal ini menyusul keputusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan terhadap pengujian Pasal 36 UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda). Karena ayat (1) pasal tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 36 ayat (1) UU Pemda tersebut mewajibkan penyelidikan dan penyidikan kepada kepala atau wakil kepala daerah harus melalui persetujuan presiden atas permintaan penyidik.
MK menyatakan, tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah bisa dilakukan tanpa persetujuan presiden. Selain itu, di dalam putusan yang sama, MK juga menyatakan Pasal 36 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Frasa yang terkandung dalam Pasal 36 ayat (2) yakni, “Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.”
“Putusan MK ini membuat kerja polisi dan jaksa lebih efektif untuk memproses kasus korupsi. Tentunya dengan adanya itu, kita lebih kuat melawan korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah,” ujarnya.
Mukson mengatakan putusan MK merupakan kebanggaan bagi penyidik untuk lebih cepat memproses kasus korupsi yang ditanganinya. “Kami sangat senang tidak lagi terhambat oleh izin presiden,” katanya.

Harus diapresiasi

Dihilangkannya Pasal 36 UU Nomor 32 Tahun 2004 menurut Bupati Sambas dr Hj Juliarti Djuhardi Alwi MPH. “Kalau seperti itu aturannya dan berguna bagi masyarakat banyak, tetap kita ikuti. Itu kan undang-undang,” katanya menjawab Rakyat Kalbar, Senin (1/10) seusai peringatan Hari Kesaktian Pancasila.
Apa pun aturan yang telah ditetapkan oleh UU harus dijalankan selagi tidak ada keberatan atau bantahan dari kepala daerah se-Indonesia. “Biasanya penerapan aturan selalu menghadirkan pihak terkait. Kita akan menunggu surat resmi terkait penghapusan aturan tersebut,” tambahnya.
DPRD Kota Singkawang pun mengapresiasi keputusan MK. “Saya pikir ini suatu kemajuan dan patut kita apresiasi dan dukung. Mudah-mudahan dengan penghapusan tersebut bisa mempercepat proses hukum pidana terhadap kepala daerah,” kata Paryanto, anggota Komisi A DPRD Kota Singkawang kepada Rakyat Kalbar (1/10).
Pembatalan kedua ayat dalam pasal tersebut menurut Paryanto merupakan suatu kemajuan hukum di Indonesia. “Tetapi tetap harus mengedepankan praduga tidak bersalah,” katanya.
Anggota DPRD Kota Singkawang lainnya, R Suhartoyo menilai pembatalan pasal tersebut berarti memberikan kekuatan pada hukum pidana. “Kalau masih ada pasal itu, berarti hukum birokrasi yang kuat dan hukum pidana yang lemah,” katanya.
Menurut dia, seyogianya persoalan izin yang notabene persoalan birokrasi itu tidak melemahkan hukum pidana. “Kalau persoalan pemerintahan, tentunya memang harus birokrasi yang diperkuat, tetapi kalau persoalan pidana, tentunya hukum pidana,” jelas Suhartoyo.
Dia menyambut baik pembatalan Pasal 36 tersebut, sehingga para penyidik dapat dengan segera memeriksa kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana. “Sehingga tidak ada lagi para pelaku pidana, koruptor misalnya yang berlindung di balik hukum birokrasi seperti harus izin presiden dulu kalau mau memeriksanya,” ujar Suhartoyo. (hak/sul/edo/dik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar