Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Kamis, 04 Oktober 2012

Rawan Kepentingan Politik

Anton: Bisa Jadi “ATM” Aparat

Pontianak – Komisi A DPRD Kalbar menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus pasal izin presiden untuk penyelidikan dan penyidikan kepala daerah.
“Tidak perlu izin presiden sejauh masih dalam tahap pemeriksaan dan penyidikan. Tetapi manakala perlu penahanan kepala daerah harus ada izin positifnya. Kita menyambut baik putusan itu, tapi ada juga dampak negatifnya,” kata Sekretaris Komisi A DPRD Kalbar Antonius Situmorang SH, kepada Rakyat Kalbar, Selasa (2/10).
Dengan putusan tersebut, Situmorang merasa ada dorongan bagi pejabat daerah untuk tidak melakukan korupsi karena tidak dapat berlindung di bawah izin presiden.
Artinya, putusan MK itu intinya mencabut norma yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan perbedaan perlakuan terhadap kepala daerah ketika diperiksa dalam kasus korupsi. Namun, lelaki yang disapa Anton ini mengingatkan, ada juga dampak negatifnya.
“Takut dimanfaatkan untuk kepentingan politik manakala dekat pemilukada. Tidak menutup kemungkinan dijadikan bargain kompromi atau sebagai alat penegak hukum untuk menakuti-nakuti, termasuk bisa menjadi ‘ATM’,” kata legislator Partai Gerindra ini.
Putusan MK disadarinya merupakan bagian dari akselerasi upaya pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan.
“Namun kita harapkan putusan itu jangan sampai menimbulkan persoalan baru yang justru membuat proses penegakan hukum menjadi mandul akibat ada main mata dan sebagainya. Itu yang tidak kita inginkan,” tandas Anton.
Terpisah, Direktur Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Demanhuri Gustira mengatakan sudah saatnya penegak hukum mengadili mereka dan jangan mau diintervensi oleh politik dan golongan.
Lalu bagaimana jika putusan MK itu justru menjadi alat kepentingan politik serta kompromi bagi aparat penegak hukum? Jika itu yang terjadi, bisa dikatakan sebagai konsekuensi negara baru demokrasi, ada politik balas dendam.
“Kalau di ATM, aparat saya rasa makin lama penegak hukum makin baik. Cuma harus ada mekanisme kontrol independen dari publik. ATM masih merajalela karena publik sedikit sekali yang mengawasi penegak hukum,” jelas Demanhuri.
Dirinya juga menilai kinerja aparat penegak hukum di Kalbar masih jauh dari harapan. Mentalitas para penegak hukum masih belum gereget dan berani karena belum ada satu pun kepala daerah yang dijebloskan ke penjara.
Dia menambahkan, perbaikan kinerja aparat penegak hukum juga harus dimulai dari proses rekruitmen. Selama ini masih muncul anggapan di masyarakat, untuk menjadi jaksa atau polisi harus mengeluarkan sejumlah uang.
Agar aparat penegak hukum baik itu kejaksaan maupun kepolisian mendapat kepercayaan publik, lakukannya juga penyelidikan terhadap kasus-kasus korupsi yang menyangkut pelayanan publik. “Jangan hanya yang identik dengan politik. Diharapkan, penanganan kasusnya tuntas dan disampaikan kepada masyarakat,” tutup dia.

Bulan-bulanan

Wakil Bupati Pontianak Drs H Rubijanto berpendapat dari sisi negatifnya, dicabutnya pasal tersebut bisa saja menjadikan kepala daerah menjadi “bulan-bulanan” terkait kasus hukum yang belum pasti kebenarannya.
“Baru saja karena indikasi atau sinyalemen, lantas bisa saja kepala daerah diperiksa. Sebenarnya pasal tersebut menjaga hal-hal yang berkaitan hukum agar hal-hal yang baru terindikasi bisa diminimalisasi dan tidak perlu melibatkan kepala daerah. Karena dapat mengganggu tugas-tugas sebagai seorang kepala daerah,” kata Rubijanto.
Sisi positifnya, Rubijanto menilai proses penyelesaian kasus akan lebih cepat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Namun baik-buruknya keputusan mencabut pasal itu tentu ada pertimbangan mendalam. “Kalau itu sudah merupakan keputusan hukum tentu harus kita patuhi dan dilaksanakan. Jadi kepala daerah tentu mesti lebih berhati-hati lagi,” ujarnya.
Senada, Ketua DPRD Kabupaten Pontianak H Rahmad Satria SH MH berpendapat, dicabutnya pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bisa memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.
“Misalnya, kasus yang baru terindikasi dan belum cukup barang bukti dan alat bukti serta saksi-saksi, kepala pemerintahan sudah diperiksa. Tentu ini akan membunuh karakter walau hukuman belum tentu dikenakan. Namun penghakiman oleh media massa terlebih dahulu bisa terjadi,” ujar Rahmad.
Sebagai warga negara yang baik dan taat hukum, dia setuju dicabutnya pasal tersebut untuk meminimalisasi berbagai penyimpangan dan juga kasus-kasus cepat terselesaikan.
“Tentu dicabutnya Pasal 36 akan ada dampak baik-buruknya. Pencabutan itu dilakukan setelah melalui pemikiran mendalam dan telah melalui peninjauan berbagai aspek dan pertimbangan,” katanya. (jul/fia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar