Ucapan

SELAMAT DATANG DI BLOG SUARA ENGGANG POST!

Kamis, 04 Oktober 2012

Periksa Kepala Daerah Tak Perlu Izin Presiden

Pontianak – Pemeriksaan terhadap kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi harus lebih cepat mulai sekarang. Sebab Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan yang mengharuskan adanya izin dari presiden sebelum memeriksa kepala daerah yang tersangkut kasus pidana.
“Dihilangkannya Pasal 36 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka mempermudah Polri dan kejaksaan serta lembaga hukum lainnya untuk mengusut kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah tanpa meminta izin kepala negara,” kata Iskandar, Manager PGG Gemawan Kalbar, Sabtu (29/9).
Iskandar mengaku sangat setuju memeriksa kepada daerah tanpa ada izin presiden. Karena akan mempercepat penganan korupsi yang selama ini sangat lamban, apalagi melibatkan kepala daerah. “Selalu saja alasan kepolisian dan kejaksaan belum mendapatkan izin dari presiden. Dengan dicabutnya pasal 36 ini, tidak ada lagi alasan seperti itu,” tegas Iskandar.
Izin presiden pada tahap penyelidikan dan penyidikan, berpotensi menghambat proses hukum. Karena dalam pasal tersebut secara tak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.
“Persetujuan tertulis presiden tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup. Pasalnya, sebagai subjek hukum, kepala daerah harus mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum,” ungkapnya.
Izin presiden hanya pada penahanan terhadap kepala daerah yang divonis bersalah. Karena penahanan tersebut dikhawatirkan berpotensi menghambat roda pemerintahan daerah.
“Ini karena kepala daerah merupakan bawahan presiden. Perlakuan ini hanya untuk menjaga harkat dan martabat yang bersangkutan,” jelas Iskandar seraya mengatakan Gemawan Kalbar mendukung proses hukum yang bersifat cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan hakim konstitusi lainnya sepakat Pasal 36 UU Pemda melukai independent judiciary. Istilah independent judiciary digunakan oleh para pegiat anti korupsi yang dimotori Teten Masduki, Zaenal Arifin Mochtar, dan ICW saat mengajukan judicial review pasal tersebut. Mereka menilai pasal tersebut membuat kekuasaan kehakiman jadi tidak merdeka dan terbatas.
Selain itu, mereka juga menyebut Pasal 36 UU Pemda telah melanggar prinsip equality before the law. Buktinya pasal tersebut memberikan perlakuan istimewa kepada kepala daerah dan atau wakilnya yang diduga melakukan tindak pidana. Sebab harus menunggu persetujuan tertulis dari presiden terlebih dahulu.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Pasal 36 ayat 1 dan Pasal 36 ayat 2 UU 32/2004 tentang Pemda tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Mahfud kepada Jawa Pos Group.
Pasal 36 ayat 1 sendiri berbunyi kalau penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan atau wakilnya dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden. Sedangkan Pasal 36 ayat 2 berbunyi dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 hari, terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Nah, pokok yang dikabulkan MK adalah ayat 1 tidak lagi bisa digunakan karena bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan pada ayat dua yang sebelumnya mengatur 60 hari persetujuan untuk penahanan, dipersingkat jadi 30 hari saja. “Karena waktu 60 hari yang diberikan, bisa menghambat proses penyelidikan,” jelas Mahfud.
Hakim MK khawatir waktu selama itu justru digunakan oleh kepala daerah atau wakilnya yang tersandung tindak pidana jadi punya waktu untuk menghindar. Termasuk berpeluang untuk melakukan penghapusan jejak tindak kejahatan atau penghilangan alat bukti.
Jadi, setelah ini para penyidik tak perlu lagi meminta izin presiden untuk melakukan penyelidikan. Mereka hanya diharuskan meminta izin kalau hendak menahan kepala daerah atau wakilnya. Akan tetapi, kalau dalam 30 hari presiden tidak juga membalas persetujuan itu, penahanan bisa langsung dilakukan. (kim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar